Menlu RI dan Myanmar Capai Kesepakatan Soal Pengungsi Rohingya

Myanmar siap bekerja sama dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk pemberantasan perdagangan manusia.

oleh Andreas Gerry Tuwo diperbarui 22 Mei 2015, 06:24 WIB
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi. (ANTARA FOTO/Andika Wahyu)

Liputan6.com, Jakarta - Pertemuan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dengan Menlu Myanmar, U Wunna Maung Lwin menghasilkan sejumlah kesepakatan. Kesepakatan tersebut termasuk di antaranya soal pengungsi Rohingya, yang tengah menjadi sorotan dunia.

"Pemerintah Myanmar sepakat untuk mengambil langkah prevensi  irregular migration," kata Menlu Retno dalam keterangan tertulis, Kamis (21/5/2015).

Kesepekatan kedua adalah Myanmar siap bekerja sama dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk pemberantasan perdagangan manusia.

"Kesepakatan selanjutnya adalah untuk lakukan consular visitation di shelter sementara di mana ditampung irregular migration di aceh," ujar Retno.

"Yang terakhir sepakat bahwa pembangunan yang dilakukan di Rakhine State dilakukan secara inklusif dan tidak ada diskriminasi," terang Retno.

Sebelumnya, RI dan Malaysia telah menyetujui untuk menampung ribuan pengungsi Rohingya. Keputusan diambil setelah diadakan pertemuan antara Menlu Indonesia, Thailand dan Malaysia.

Dari keterangan sejumlah lembaga internasional, jumlah pengungsi Rohingya di Tanah Air sekitar 2.000 jiwa. Mereka mayoritas berasal dari Myanmar dan sebagian kecil dari Bangladesh.

Pengungsi Rohingya merupakan salah satu masalah kemanusian yang paling disorot dunia saat ini. Sebab Myanmar tempat penduduk Rohingya tinggal, menolak memberi kewarganegaraan bagi etnis tersebut.

Pada Juni dan Oktober 2012, kerusuhan bernuansa etnis pecah di negara bagian Rakhine, Myanmar. Puluhan ribu warga Rohingya kemudian meninggalkan wilayah mereka. Kekerasan etnis ini menewaskan ratusan orang dan membuat 140 ribu warga minoritas tersebut kehilangan tempat tinggal.

Rohingya tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar meski telah tinggal beberapa generasi di negara yang dulunya bernama Burma tersebut. Praktis, mereka sulit mendapatkan pekerjaan, sekolah ataupun jaminan kesehatan. (Ado)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya