Liputan6.com, Jakarta Karakter dan kepribadian manusia dibentuk paling tidak oleh dua faktor. Yang pertama lewat fungsi genetik yang diturunkan dari kedua orangtuanya. Inilah mengapa dalam beberapa penelitian mengenai anak kembar yang terpisah, ditemukan beberapa kesamaan sifat yang dimiliki keduanya. Penelitian lainnya bahkan menemukan juga adanya pengaruh genetis orangtua pada kemampuan kognitif anak.
Selain karena adanya faktor genetis, Skroe kedua yakni faktor belajar dari lingkungan merupakan faktor penting bahkan dikatakan paling besar pengaruhnya bagi pembentukan karakter dan kepribadian anak. Individu bisa membentuk dirinya lewat belajar dari lingkungan mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan bermain, hingga lingkungan sekolah. Prosesnya pun bisa berlangsung seumur hidup. Mulai dari kandungan misalnya saat janin belajar merasakan emosi dari kondisi emosional orangtuanya hingga individu berusia lanjut misalnya saat harus belajar menyesuaikan diri saat mulai pensiun atau menyandang status tidak bekerja.
Advertisement
Kondisi genetis yang berbeda dan juga kondisi lingkungan yang juga berbeda merupakan kondisi yang membentuk manusia menjadi pribadi-pribadi yang unik dan berbeda satu sama lain. Oleh karenanya, seperti sidik jari, kita tidak akan menemukan orang yang berkepribadian sama persis satu dengan lainnya.
Perbedaan Karakter
Perbedaan karakter dan kepribadian ini menjadi sebuah tantangan yang tidak mudah ketika dua orang bertemu dan memutuskan untuk menikah. Menikah berarti menjadikan dua pribadi bersatu dalam suatu visi dan mimpi bersama. Pasangan yang menikah akan melakukan kerjasama dan saling menyesuaikan diri dalam berbagai situasi di sepanjang kehidupan mereka. Mereka pun harus rela membuka berbagai tabir eksklusivitas yang selama ini mereka tutup erat dan membiarkan pasangan hidupnya masuk, berdinamika, dan menjadi bagian di dalamnya. Dalam proses ini, semakin lama akan mulai ditemukan berbagai pertengkaran akibat perbedaan karakter dan kepribadian yang dimiliki masing-masing. Dalam banyak kasus, pertengkaran yang muncul menjadi begitu tinggi frekuensi dan intensitasnya sehingga membawa pada keputusan untuk berpisah.
Bertengkar pada pasangan yang menikah sebenarnya merupakan hal yang biasa. Hal ini menjadi konsekuensi dari proses dan usaha menyatukan visi dan impian pada pribadi-pribadi yang sebenarnya memiliki berbagai perbedaan. Meskipun demikian, perlu ada etika tertentu saat bertengkar agar tidak membawa dampak yang merugikan dalam keluarga yang dibangun. Hal ini juga penting saat pasangan yang menikah kemudian memiliki anak.
Advertisement
Bahaya
Bertengkar di depan anak sedapat mungkin tidak dilakukan. Ada bahaya bagi anak jika orangtua bertengkar di depan anak, antara lain:
- Anak akan mengalami tekanan psikologis
Melihat adanya tindak agresif saling menyerang di depan mata jelas merupakan tekanan psikologis tersendiri bagi anak. Apalagi jika kemudian muncul perilaku kekerasan baik verbal maupun nonverbal. Jika ini sering terjadi sangat mungkin anak akan mengalami depresi
- Anak akan mengalami krisis kepercayaan pada oranglain
Melihat dua orang yang sangat dicintai dan sangat dipercaya saling menyerang baik secara verbal maupun nonverbal merupakan pengalaman yang akan mengejutkan anak. Karena mempercayai seseorang merupakan prasyarat bagi individu untuk tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, ketidakmampuan orang-orang yang dia percaya mengendalikan perilaku mereka akan membawa anak pada krisis kepercayaan diri. Anak akan kesulitan menemukan dasar-dasar pijakan yang aman untuk tumbuh menjadi pribadi yang mempercayai lingkungannya sehingga pada akhirnya akan kesulitan juga mempercayai diri sendiri
- Anak mungkin menyalahkan diri sendiri
Melihat kedua orangtuanya bertengkar seringkali merupakan pengalaman yang sulit diterima anak. Mereka berpikir bahwa kedua orangtuanya semestinya saling menyayangi. Jika kemudian mereka saling membenci pasti ada yang salah. Banyak anak kemudian berpikir, meskipun tidak logis, bahwa yang menjadi penyebab pertengkaran tersebut mungkin adalah dirinya. Oleh karenanya, banyak anak yang kemudian menyalahkan dirinya sendiri sebagai akibat pertengkaran yang terjadi pada kedua orangtuanya.
Bila tak bisa hindari pertengkaran
Meskipun sudah berusaha dikendalikan, seringkali orangtua tidak dapat menghindarkan pertengkaran di depan anak. Untuk meminimalkan resiko pada anak, beberapa hal dapat dilakukan saat pertengkaran memang harus terjadi di depan anak. Hal-hal tersebut antara lain:
- Jangan sekali-kali melakukan kekerasan verbal dan nonverbal
Hindari melakukan kekerasan pada pasangan baik verbal maupun nonberval. Kekerasan yang dilakukan akan berdampak negatif tidak hanya bagi pasangan yang mengalami kekerasan namun juga bagi anak yang melihatnya. Anak mungkin akan mengalami ketakutan atau kemarahan melihat kekerasan yang terjadi di antara kedua orangtuanya.
- Tekan nada suara menjadi serendah mungkin
Saat pertengkaran sudah tidak mungkin lagi dicegah, usahakan menekan nada suara serendah mungkin. Nada suara yang tinggi dalam pertengkaran yang dilakukan kedua orangtuanya dapat dilihat sebagai situasi yang mengancam bagi anak. Dalam beberapa temuan, banyaknya nada suara yang tinggi dan bersifat agresif yang terjadi pada sebuah keluarga akan mendorong terjadinya gangguan psikologis pada anggota keluarganya termasuk pada anak.
- Jaga ekspresi wajah dan gerak badan agar tidak terlihat mengancam
Bagi anak, ekspresi wajah dan gerak badan yang tidak terkendali saat kedua orangtuanya bertengkar juga dapat dirasakan sebagai hal yang mengancam. Jika terpaksa harus bertengkar di depan anak, sebaiknya orangtua meminimalkan ekspresi wajah dan gerak badan yang menampilkan ketakutan, kemarahan, kepanikan, dan semacamnya
Advertisement
Jangan libatkan anak
- Jangan melibatkan anak dalam pertengkaran
Saat terjadi pertengkaran, jangan sekali-kali melibatkan anak dalam pertengkaran. Melibatkan anak dalam pertengkaran dapat dilakukan lewat menjadikan anak sebagai sosok yang berada di pihaknya atau ikut memusuhi anak dan seakan-akan melihat anak sebagai sosok yang berada di pihak pasangan. Anak akan menjadi kebingungan dan ketakutan karena bagi mereka, membela salah satu orangtuanya sehingga kemudian memusuhi orangtuanya yang lain bukanlah suatu pilihan.
- Jika emosi sudah tidak tertahankan, tunda pembicaraan
Jika emosi marah, panik, dan semacamnya saat terjadi pertengkaran telah sampai pada puncaknya sehingga tidak mampu lagi dikendalikan, sebaiknya segera hentikan pertengkaran yang dilakukan di depan anak. Meskipun hal ini sulit dilakukan untuk pertama kalinya, jika sudah terbiasa, akan didapatkan reflek yang lebih mudah. Ada dua keuntungan jika ini dilakukan. Yang pertama, dampak buruk pada anak akibat pertengkaran tak terkendali pada kedua orangtuanya dapat dihindari. Yang kedua orangtua akan dapat “melanjutkan” pertengkaran di lain waktu dengan emosi yang biasanya sudah lebih terkendali akibat adanya penundaan tadi.
- Jelaskan pada anak bahwa ada perbedaan pendapat namun semuanya baik-baik saja
Jika pertengkaran di depan anak telah terjadi dan tampaknya berpotensi buruk pada anak, orangtua perlu melakukan penjelasan pada anak bahwa hal yang baru saja mereka lihat adalah sebuah cara orangtua berdiskusi menyelesaikan suatu masalah. Orangtua dapat mengatakan secara jujur bahwa mereka sedkikit mengalami perbedaan, namun semuanya akan baik-baik saja. Jika orangtua memperlihatkan suatu perilaku emosional yang berlebihan dalam bertengkar, mereka perlu minta maaf pada anak yang telah menjadi ketakutan melihatnya. Selain itu, orangtua perlu meyakinkan pada anak bahwa mereka berdua tetaplah saling menyayangi.
Yohanes Heri Widodo, MPsi, Psikolog
Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Pemilik Taman Bermain dan Belajar Kerang Mutiara, Yogyakarta