Liputan6.com, Jakarta - Indonesia tersohor dengan istilah Gemah Ripah Loh Jinawi (kekayaan alam yang berlimpah) termasuk komoditas pangan. Namun faktanya, negara ini kini masuk dalam zona merah alias krisis pangan.
Ini diungkapkan Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa yang menyatakan, hal ini bisa dibuktikan dengan tingginya data impor pangan selama 10 tahun terakhir, dengan prosentase 36 persen. Kondisi ini diikuti lonjakan harga.
"Dari sisi pangan kita masuk situasi kritis, kita mengalami krisis pangan," tegas dia saat Diskusi Pangan Kita di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (25/5/2015).
Dwi menuturkan, stok beras di gudang Perum Bulog yang menjadi pasokan nasional periode Januari 2015 hanya mencapai 5,5 juta ton.
Jumlah ini merupakan angka yang terendah selama kurun waktu 3 tahun terakhir. Dari catatannya, stok beras mencapai 7,4 juta ton pada akhir 2013 dan pada 2014, terealisasi stok beras 6,5 juta ton.
"Banyak target seperti stok beras harus meningkat 8 persen, tapi nyatanya terjadi penurunan produksi. Target agak berbeda dengan fakta produksi yang terjadi," jelas dia.
Menurut Dwi, ada masalah manajemen pangan di Indonesia terutama persoalan data yang amburadul. Contohnya, jika merujuk pada data produksi beras nasional 43 juta ton pada 2014, konsumsi beras 103 ribu kilogram (kg) per tahun per kapita.
"Ini konsumsi luar biasa paling tinggi di dunia. Harusnya dari data itu, kita surplus. Dengan konsumsi 124 kg per tahun saja, mestinya kita surplus hampir 10 juta ton. Tapi tidak ada data ini," papar dia.
Dia mengimbau, agar pemerintah dapat membenahi data-data tersebut untuk kepentingan pangan nasional. Sehingga data valid tersebut bisa menjadi rujukan pemerintah saat menelurkan sebuah kebijakan pangan.(Fik/Nrm)
Advertisement