Trauma Anak yang Ditelantarkan Bakal Dibawa Seumur Hidup

Dampak paling ekstrem adalah trauma psikologis atau biasa kita sebut luka batin.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 25 Mei 2015, 17:00 WIB
Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Bali menggelar sosialisasi pencegahan kekerasan seksual terhadap anak usia dini kepada guru PAUD

Liputan6.com, Jakarta Setelah ramai menjadi isu publik, kasus penelantaran anak yang dilakukan pasangan Utomo Purnomo dan Nurindria Sari terungkap dan terus menjadi perhatian publik. Kementerian Sosial melaporkan, saat ini terdapat 4,1 juta anak terlantar dan 5.900 di antaranya mengalami hal yang sama dengan lima anak di Cibubur yaitu LA (10), CK (10),  D (8), A (5), dan DI (4).

Mengamati kasus tersebut, psikolog dan dosen dari Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indrianie, M.Psi. mengatakan, hal ini seharusnya menjadi perhatian semua pihak lantaran trauma pada anak sulit sembuh seumur hidup.

"Dampak paling ekstrem adalah trauma psikologis atau biasa kita sebut luka batin. Mereka bisa mengalami trauma ini seumur hidup karena proses tumbuh kembang pembentukan karakter ada pada usia 0-12 tahun," kata Efnie saat dihubungi Liputan6.com, ditulis Senin (25/5/2015).

Berbeda dengan orang dewasa yang bisa pulih dengan self therapy, menurut Efnie, proses terapi pada anak jauh lebih rumit karena harus disesuaikan dengan usia si kecil. Misalnya terapi untuk merilis emosi negatif bisa dilakukan melalui cerita, gambar, warna dan sebagainya mengingat trauma terjadi karena pengalaman buruk yang membekas di memorinya.

"Untuk terapi biasanya dilakukan selama 2-3 bulan. Setelah itu, emosi negatif bisa muncul dalam bentuk mimpi sambil teriak-teriak dan menangis, murung hingga nafsu makan berkurang," katanya.

Kendati demikian, Efnie mengatakan, penyembuhkan trauma psikologis akan terasa percuma bila tidak ada dukungan baik dari pihak keluarga atau masyarakat terdekat. Sebab ketika terapi ini berjalan mulus, lingkungan yang buruk akan menjadi pencetus trauma ini kembali muncul.

"Anak-anak ditelantarkan atau ditolak orangtuanya itu masalah klasik. Sejak lama anak-anak di Indonesia yang kurang beruntung (terlantar) ini ada. Mestinya ini menjadi tanggung jawab bersama," katanya.

Efnie menambahkan, analogi anak itu ibarat buah sedangkan orangtua itu pohon. Artinya, untuk mengantisipasi penelantaran anak harus ada pre-education of parent.

"Jika paradigma berpikir orangtua sudah baik dengan tidak memanjakannya, tidak melakukan kekerasan atau bahkan menelantarkannya, hal ini bisa menjadi bekal informasi yg tepat dan treatment mereka sebagai penerus bangsa," tukasnya.

Menurut Efnie, banyak program rangsangan (stimulasi) yang bisa diberikan dalam perkembangan anak. Namun yang sangat penting diperhatikan apakah program tersebut tepat untuk anak. Tidak jarang program stimulasi justru memicu stres anak. Jadi dalam memberi stimulasi pastikan sesuai dengan usia anak agar mereduksi efek stres.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya