Liputan6.com, Jakarta Masyarakat nusantara sejak lama percaya bahwa kehamilan, melahirkan, menjadi anak-anak, dewasa, tua, dan mati merupakan siklus kehidupan yang dianggap sakral, dan harus disempurnakan dengan berbagai ritual adat. Rambu Solo misalnya, ritual sakral dalam masyarakat suku Toraja ini dipercaya mampu menghantarkan jenazah ke alam damai yang disebut puya.
Tidak ada perbedaan yang signifikan tentang penyelenggaraan ritual Rambu Solo meski terdapat banyak komunitas adat di Tana Toraja. Secara umum ritual Rambu Solo terdiri dari tujuh tahapan, antara lain Rapasan, Barata Kendek, Todi Balang, Todi Rondon, Todi Sangoloi, Di Silli, dan Tadi Tanaan.
Advertisement
Namun seiring masuknya agama Kristen, Katolik, dan Islam ke Tana Toraja, beberapa tahapan ada yang dihapuskan. Meski demikian, penghapusan beberapa tahapan tersebut tidak lantas menghilangkan esensi dari Rambu Solo itu sendiri, yang bertujuan memberi keselamatan bagi jenazah dan bagi mereka yang masih hidup.
Rambu Solo tidak lepas dari kebudayaan megalitik. Hal ini terlihat dari dipergunakannya berbagai benda peninggalan zaman batu besar di dalam ritual, seperi menhir, lumpang batu, dan karopik. Letak keunikan Rambu Solo yang lain adalah dikorbankannya puluhan ekor kerbau. Masyarakat Toraja percaya, semakin banyak kerbau yang dikorbankan, akan semakin cepat jenazah menuju puya.
Proses penguburan dalam Rambu Solo seperti pernah diliput liputan6.com yang ditulis Rabu (27/5/2015), terdiri dari dua macam, yaitu secara langsung dan tidak langsung, atau menyimpan jenazah terlebih dahulu menggunakan erong, untuk kemudian menguburkannya ke dalam kuburan batu setelah ritual selesai.
Setelah jenazah dikuburkan, tiba saatnya bagi para ibu untuk menyediakan berbagai hidangan dari potongan hewan yang dikorbankan untuk dimakan bersama. Para sanak famili, tetangga, dan tamu yang datang kemudian berbaur menyatu dalam satu jamuan. (ibo/Igw)
Baca Juga:
Tradisi Rambu Solo, Simbol Masyarakat Tanah Toraja