Liputan6.com, Jakarta Masyarakat Minahasa tempo dulu memaknai kematian bagaikan ular berganti kulit, yaitu berubah dari kehidupan nyata untuk masuk ke dalam alam roh. Untuk membantu proses perubahan itu, seseorang yang telah meninggal akan dibuatkan rumah berupa peti kubur batu berukuran 2x2 meter dengan tinggi sekitar 2 meter. Masyarakat Minahasa menyebutnya dengan Waruga.
Waruga terdiri dari dua bagian, yaitu bagian badan dan bagian atap. Meski bagian badan waruga umumnya sama, namun atap waruga selalu mempunyai ukiran yang berbeda-beda. Anton, penjaga situs waruga Sawangan ketika ditemui tim Liputan6.com mengungkapkan, ukiran atau pahatan yang ada pada atap waruga menunjukkan status sosial dan profesi jenazah seseorang yang ada di dalamnya.
Advertisement
Selain menunjukkan status dan profesi seseorang, coretan pada atap bagian samping waruga juga tergambar jumlah jenazah yang ada di dalam waruga. Namun tidak semua Waruga memiliki ukiran. Waruga yang polos dianggap sebagai waruga tertua peninggalan zaman pra sejarah.
Lebih jauh Anton menceritakan, jenazah dimasukkan ke Waruga dalam posisi jongkok. Hal ini bukan tanpa sebab, masyarakat Minahasa meyakini bahwa orang yang sudah meninggal akan kembali ke posisi dimana saat dia di dalam kandungan, yaitu dalam posisi jongkok.
Di Minahasa ditemukan sekitar 2000 Waruga, 144 diantaranya dikumpulkan di situs purbakala Waruga Sawangan, dan diresmikan berdiri pada tahun 1978 oleh Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI pada saat itu. Sisa Waruga yang lain tersebar di perkampungan warga di sekitar Minahasa. (ibo/Igw)