Rintihan Bocah Terlantar: 'Buka Pintu, Bu...'

Hampir setiap malam selama 1 bulan, D harus tidur di pos satpam lantaran dilarang masuk ke dalam rumah oleh orangtuanya sendiri.

oleh Nadya IsnaeniFX. Richo Pramono diperbarui 25 Mei 2015, 20:33 WIB
Ilustrasi Penelantaran Anak

Liputan6.com, Jakarta - Sambil menenteng buku gambar, bocah laki-laki yang telah gondrong rambutnya itu berlarian ke sana-ke mari. Begitu lasak, tak peduli jika sedang ada Bu Menteri yang tengah membesuknya.

D mungkin tak mengenal pejabat sekelas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise. Perhatiannya tercurah pada buku gambar yang tak pernah lepas dari tangannya. Bocah 8 tahun itu memang hobi  menggambar, coretan tentang apa saja.

“Ini teman-teman,” kata D saat ditanya tentang siapa sosok dalam gambar yang tengah bergandengan tangan di bukunya, Senin, 18 Mei 2015.

Siapa saja mereka? “Lupa,” ucap anak ke-3 dari 5 bersaudara itu.

D kini tinggal di Safe House SOS Children's Village Desa Taruna Indonesia, Cibubur, Jakarta Timur -- rumah aman bagi korban penelantaran anak.

Pada 14 Mei 2015 lalu dia bersama 4 saudarinya, C dan L (10), D (8), Al (5), dan DA (3) dijauhkan dari ayah-ibu mereka. Juga dari rumah besar mereka di Citra Gran Cibubur. Tapi, mungkin itu yang terbaik.

"Mohon disadari KPAI melakukan hal ini sangat dilematis, satu sisi kami tidak ingin memisahkan kedua orangtua dengan anak-anak mereka," kata Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda pada 15 Mei 2015.

"Namun satu sisi perlakuan-perlakuan ini bisa berpotensi menyebabkan anak-anak ini terganggu fungsi sosialnya, terganggu psikologi yang cukup dalam dan akan membentuk konsep diri yang tidak baik untuk anak-anak ini ke depannya," imbuh dia.

Garis polisi terpasang di depan rumah orangtua yang diduga menelantarkan lima anaknya di Perumahan Citra Gran, Cibubur, Jawa Barat, Jumat (15/5). Kondisi rumah yang dari luar terlihat mewah itu sangat memprihatinkan. (Liputan6.com/Yoppy Renato)


Sebelum diselamatkan, hampir setiap malam selama 1 bulan, D harus tidur di pos satpam lantaran dilarang masuk ke dalam rumah oleh orangtuanya dengan alasan kedisiplinan.

Anak bau kencur itu juga hanya bisa makan dari belas kasihan para tetangga.

Sementara, para kakak dan adik perempuannya bertahan dalam rumah itu. Terkurung bersama sampah yang berserakan dan sikap ayah-ibu mereka yang temperamental.

Hanya teriakan minta tolong yang sesekali terdengar sayup-sayup dari dalam rumah.

Maka hari itu, 14 Mei 2015, para tetangga bersama KPAI dan kepolisian terpaksa mendobrak pintu rumah itu setelah ketukan pintu dan salam mereka tak kunjung disambut baik.

Ayah dan bunda mereka, UP dan NS dibawa kepolisian. Sementara bocah-bocah malang itu diajak tinggal di rumah aman.

"Mereka telah menemukan banyak teman-teman. Sebelumnya, keempat anak gadis ini susah untuk berinteraksi. Di sini dia langsung ketemu teman baru dan 2 hari ini mereka banyak tersenyum dan bermain. Ini suatu kemajuan yang sangat kita hargai," kata National Director SOS Gregor Hadi pada 16 Mei 2015.

Selanjutnya: Buka Pintu, Bu…


Buka Pintu, Bu…

Buka Pintu, Bu…

Lima  bocah itu harus melalui kisah panjang sebelum dibawa ke Safe House SOS. Semua berawal dari tangisan D. Seperti yang dikenang Fatimah, salah satu tetangga di kompleks perumahan tempat D dan keluarganya tinggal.

"Saya ingat betul tanggal 7 Februari 2014 pertama kalinya warga sini nolong D yang lagi nangis di depan rumahnya,” cerita Fatimah kepada Liputan6.com di rumahnya, kompleks Citra Gran Cibubur, Bekasi, Jawa Barat, 22 Mei 2015.

Fatimah bercerita, kala itu kebetulan ada seorang tetangga lain, Bu Tiwi yang baru pulang dan melihat bocah yang tengah terisak tersebut.

“Kebetulan Bu Tiwi, yang rumahnya depan serong si UP baru pulang dari klub, habis olahraga. Ditanyailah anak itu tinggal di mana, soalnya kita nggak tahu ada warga baru. Akhirnya malam itu ditampung sama Bu Tiwi di rumahnya, dikasih makan, dikasih baju, disuruh nginap," tutur dia.

Tak cuma keluarga Fatimah. Banyak tetangga lain yang turut memberi perhatian pada bocah malang tersebut. Ada Pak Giri, Bu Tiwi, Pak Timbul, dan keluarga lainnya.

Keesokan harinya, sambung dia, kisah yang sama terulang lagi. Bocah D yang baru pulang dari sekolah harus terlantar di luar rumah lantaran tak dibukakan pintu oleh sang ibu, NS. Maka D lagi-lagi ditampung oleh Bu Tiwi.

Tersangka kasus kepemilikan sabu yang menelantarkan 5 anaknya di Cibubur, Jawa Barat terancam kehilangan hak asuhnya.


Saat petang menjelang, sang ayah, UP, mulai mencari anaknya yang tak kunjung pulang. Sambil berkacak pinggang, dia pun mendatangi rumah Bu Tiwi. Hari itu pun menjadi perkenalan pertama warga dengan UP dan NS.

"Datengin rumah bu Tiwi sambil tolak pinggang dan marah-marah dengan menuduh menculik anaknya. Akhirnya kita semua warga keluar rumah dan mencecar UP yang jelas-jelas sudah telantarkan anak," kenang Fatimah.

"Waktu itu dia perkenalkan diri dengan mengaku sebagai intel. Tapi nggak bilang intel dari mananya. Tapi lama-kelamaan ngaku juga kalau dosen. Dia ngaku anak pejabat. Bapaknya rumahnya gede, orang kaya, parkirannya muat 12 mobil katanya.”

Namun semua cerita itu tak membuat para tetangga silau. Mereka malah menasihati UP agar merawat dengan baik anaknya. Tapi sang ayah membela diri. Dia berkilah, begitulah cara keluarga mereka mendidik anak lelaki supaya tak manja dan jadi manusia hebat. “Mana bisa? Yang ada malah mati kelaparan," cetus Fatimah.

Namun UP tak sependapat dengan Fatimah. Pria yang juga tersangkut kasus kepemilikan narkoba itu menganggap D terlalu manja hingga membuatnya harus bersikap tegas.

"Dia kan anak cowok, nggak masalahlah. Nggak ada perkara. Tetangga saja yang fitnah kita," klaim UP ketika ditemui di Mapolda Metro Jaya, Jakarta pada Kamis 14 Mei 2015 malam.

Sedangkan istrinya, NS berpendapat kalau D adalah anak cerdas. D ternyata juga sudah sering diberikan kunci rumah agar dia bisa keluar dan masuk ke rumah kapan saja.  
 
Untuk itu, dia menyesalkan sikap tetangga terhadap D. Menurut NS, pernah suatu saat D tak pulang hingga larut malam sampai pagi hari. Ketika pagi hari, UP dan NS mencari anaknya yang ternyata ada di rumah tetangganya. UP pun mengajak D pulang namun dilarang tetangganya.  
 
"Kan itu nggak benar kan? Dia itu kan mau sekolah, masa kita nggak boleh ajak pulang?" ucap NS.

Selanjutnya: Dipukul Ayah...


Dipukul Ayah

Dipukul Ayah

Namun berselang 1 pekan dari perkenalan UP dengan warga, D kembali terlantar di luar rumah. Rasa kesal kembali dirasakan Fatimah dan tetangga lainnya. Meski begitu rasa kasihan mereka pada bocah tersebut mengalahkan segalanya. Para tetangga tetap mengulurkan tangan merawat si anak.

Tapi menurut Fatimah, D berubah sejak dijemput sang ayah tempo hari. D, kata dia, jadi enggan menumpang di rumah para tetangga dan lebih memilih pos satpam untuk beristirahat sembari menunggu sang ayah pulang.

Saat siang, sambung Fatimah, D bermain ke rumah Bu Tiwi. Di sana dia makan dan melakukan hal lainnya. Namun selepas magrib, bocah tersebut akan keluar rumah dan berdiam di pos satpam. Beberapa kali bahkan D kedapatan tidur di teras rumahnya sendiri.

"Dia takut ayahnya tahu kalau dia numpang di rumah orang. Mungkin sudah diperingatkan sebelumnya," ujar Fatimah.

Hingga D akhirnya berhenti berangkat ke sekolah. Fatimah mengatakan, hanya urusan perut yang dipikirkan bocah tersebut. Bocah itu, kata dia, sering sekali kelaparan. Baju pun tak akan berganti jika para tetangga tak memberikan baju ganti.

Petugas satpam menunjukkan kasur yang digunakan DN untuk tidur di sebuah pos jaga di Perumahan Citra Gran, Cibubur, Jumat (15/5). Sebelumnya, KPAI dan Polda Metro Jaya mengamankan orangtua yang diduga menelantarkan 5 anaknya. (Liputan6.com/Yoppy Renato)


“Ya kita-kita inilah ganti-gantian ngurus si D. Ngasih makan, gantiin baju. Bapaknya cuma tahu pulang kerja anaknya ada, dibawa pulang, ya sudah. Besoknya begitu lagi, begitu lagi," tambah Fatimah.

D memang bukan anak jalanan. Tapi hidupnya sama terlantarnya dengan mereka yang di jalanan. Entah apa yang terjadi padanya, hingga bocah tersebut mulai berani mencuri. Dari sandal, sepatu, hingga makanan milik warga pernah diambil bocah tersebut.

Namun semua dimaklumi para tetangga. Sama sekali mereka tak menghakimi.

Fatimah bercerita, suatu ketika ada rantang katering milik tetangga di depan rumahnya yang diambil D tanpa permisi. Lantas, kata dia, D lalu lari sambil membawa makanan itu dan menggedor-gedor pintu rumahnya.

"Eh ternyata dia manggil kakak dan adiknya yang ada di dalam. Keluarlah 4 anak perempuan itu. Lahap banget makannya di teras. Diintiplah sama warga dari dalam rumah. Setelah selesai makan, rantangnya disusun lagi terus dicantolin lagi di depan rumah warga."

Hidup miris D tak berhenti di urusan perut. Yang Fatimah tahu, bocah itu kerap dipukuli orangtuanya. Pun begitu yang dialami para saudarinya.

"Yang kita tahu kan si D aja yang dipukuli dan diborgol, eh nggak tahunya yang lain juga. Soalnya waktu D lagi di luar, nginep di pos, tetangga sebelah tetap dengar suara jeritan anak dari dalam. Asal malam si UP pulang, pasti setel musik kencang. House music gitu," tutur Fatimah.

Pengakuan Fatimah dikuatkan tetangga lainnya, Winner Aldan. Winner mengaku pernah menyaksikan aksi kekerasan yang dilakukan UP kepada putra satu-satunya itu sekitar sebulan yang lalu.

Ketika itu, kata Winner, D sedang diajak oleh ayahnya mengendarai mobil di sekitar kompleks kediamannya, kawasan Citra Gran, Cibubur, Jawa Barat.

"Jadi waktu itu saya habis belanja di mini market kompleks, lihat si D kepalanya lagi dipukul ayahnya‎ di dalam mobil berkali-kali," kata tetangga D, Winner Aldan saat berbincang dengan Liputan6.com pada 14 Mei 2015.

Winner mengaku melihat bocah D juga mendapatkan kekerasan lainnya ‎yang dilakukan sang ayah. "Wah dijedotin juga berkali-kali ke dashboard mobil juga," kata dia.

Selain itu, badan D juga ‎kerap terlihat memar seperti bekas pukulan. Namun, setiap ditanya, bocah laki-laki tersebut tidak pernah mau menjawab pertanyaan warga.
 
"Di kepalanya D itu bekas lukanya banyak, ada yang kayak bekas jahitan. Di badannya juga sering terlihat lebam memar gitu," ucap Winner.

Selanjutnya: Kelewat Batas...


Kelewat Batas

Kelewat Batas

Maka begitulah hari demi hari dilalui D bersama gelimang kasih sayang dari para tetangga. Sementara 4 saudarinya berada di dalam rumah bersama ibunda mereka yang tak pernah keluar rumah. Hingga suatu hari Fatimah berjanji mengantarkan bocah malang tersebut ke rumah neneknya di Cileungsi Hijau.

"Ayo kita ke rumah nenek,” kata Fatimah menirukan kembali ucapannya kepada D yang sudah berada di teras rumahnya pagi itu pada 14  Mei 2015.

“Semangat banget dia,” imbuh Fatimah.

Namun rencana ke rumah nenek tersebut harus diurungkan. Karena KPAI dan kepolisian datang untuk menyelamatkan D serta 4 saudarinya. Kala itu, Fatimah memundurkan janjinya mengantarkan D dari semula pukul 07.00 WIB menjadi siang hari. Ini karena dia harus pergi memenuhi agenda lain.

Setelah itu baru mengantarkan D ke rumah neneknya. Namun sekembalinya, Fatimah dibuat kaget dengan keramaian yang ada di kompleksnya. Tepatnya di depan kediaman orangtua D.

“Sudah ramai kondisinya ada KPAI, polisi dari Polres, sama banyak wartawan. Sudah seramai itu pun UP dan NS nggak keluar," ucap dia.

“Sebelumnya sih aku tahu kalau ibu-ibu sudah rencanakan panggil KPAI dan Polisi. Tapi aku nggak tahu kalau mau pada datang hari itu, karena setahuku Bu Erlinda masih di Padang.”

Para tetangga yang merasa tingkah UP dan NS telah kelewat batas memang sepakat untuk melaporkan kasus bocah-bocah malang tersebut.

Saat itu detik demi detik seakan berjalan lambat. Ketika rumah besar tersebut diketuk oleh kepolisian, ayah D, UP keluar. Petugas dengan sigap menahan ayah 5 anak itu dan membawanya masuk ke dalam mobil tahanan.

Salah satu dari pasangan kembar kakak sulung D, yakni C (10) berhasil ditarik keluar dari rumah oleh Sekjen KPAI Erlinda. Namun 3 saudari D lainnya belum berhasil diselamatkan lantaran sang ibu, NS cepat-cepat mengunci pintu.

Kepolisian lalu membawa UP sekaligus untuk membuat surat penggeledahan rumah. Bermodal surat itu, pihak Jatanras Polda Metro Jaya pun berhasil mendobrak rumah yang hanya tinggal menyisakan istrinya NS, beserta 3 anaknya yang lain yakni, L (10), Al (5), dan DA (3).

"Baru deh semuanya dibawa ke safe house,”  tutur Fatimah.

Pintu rumah pun terbuka. Dan saat itu Fatimah melangkah masuk.

“Bau menyengat luar biasa tercium dari rumahnya. Berantakan sekali, banyak sampah," ucap dia.

Kondisi rumah 2 lantai itu sangat memprihatinkan, berantakan dan banyak sampah, Jawa Barat, Jumat (15/5/2015). Sebelumnya, KPAI dan Polda Metro Jaya mengamankan orangtua yang diduga menelantarkan lima anaknya. (Liputan6.com/Yoppy Renato)


Sekjen KPAI Erlinda menggambarkan kondisi ruangan dalam rumah dua lantai itu layaknya 'kapal pecah'. Sangat berantakan dan banyak sampah di tiap sudut rumah.

"Ada bekas pampers yang masih ada kotorannya. Sampah di mana-mana. Sudah seperti kapal pecah," ujar Erlinda pada 14 Mei 2015.

Pemandangan lain yang ia saksikan yaitu banyaknya perabotan rumah tangga yang tidak diletakkan secara teratur. "Sangat tidak layak, sampah-sampah dan makanan berbaur menjadi satu. Pakaian bekas entah yang bersih atau kotor tertumpuk di setiap sudut ruangan hingga di atas kasur," cerita dia.

Pengakuan senada disampaikan Kanit I Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Kompol Buddy Towoliu yang memimpin operasi pembebasan lima anak tersebut. Ia bahkan mengaku tim nya sempat kesulitan membedakan mana kamar dan dapur saat hendak melakukan penyisiran di tiap ruangan.

"Kondisi rumahnya seperti habis terkena tsunami, sangat berantakan, sampai kami kesulitan menyimpulkan mana yang ruangan kamar dan mana dapur, dari luar terlihat elit tapi setelah ke dalam sangat tidak manusiawi," ucap Buddy.

Selanjutnya: Tinggal di Rumah Asri...


Tinggal di Rumah Asri

Tinggal di Rumah Asri

Hari itu juga, dari kapal pecah, 5 bocah tersebut dipindahkan ke sebuah rumah lain. Tempat yang dirasa lebih aman bagi mereka.

Rumah yang asri dan dirindangi pepohonan. Dimana banyak teman-teman sebaya yang bisa menemani hari-hari mereka. Untuk sementara, mereka dititipkan di Safe House SOS Children's Village Desa Taruna Indonesia, Cibubur, Jakarta Timur.

Berbagai fasilitas lengkap terdapat di safe house tersebut. Mulai dari 15 rumah yang siap menampung 150 anak, taman bermain, sarana pendidikan, hingga sarana olahraga. Saat ini ada 140 anak yang ditampung di sana, termasuk D dan 4 saudarinya.

"Begitu mereka sampai sini, mereka digabung di satu rumah yang sudah ada 7 anak di dalamnya. Diasuh sama Ibu Mariatun,” kata seorang pengurus rumah aman kepada Liputan6.com pada 22 Mei 2015.

Namun salah satu saudari D, yakni AL terkena cacar. Maka pada 19 Mei 2015, 5 kakak-beradik tersebut dipisahkan dari 7 anak lainnya. Agar yang lain tak tertular. Namun tetap berada di bawah pengasuhan Ibu Mariatun.

Si pengasuh pun tidur di rumah yang ditempati 5 bocah tersebut.

“Karena rumah satunya lagi yang 7 anak sudah ada anak cukup besar yang bisa bimbing adik-adiknya," ucap si pengurus.

Di rumah tersebut, bocah-bocah itu bergelimang perhatian. Dari pejabat Polri, politisi hingga 2 menteri menjenguk mereka. Bahkan para tetangga baik hati di kompleks perumahan Gran Cibubur.

Para tetangga itu juga mengajak kakak beradik tersebut bersama 7 teman mereka berjalan-jalan ke Dunia Fantasi (Dufan), Jakarta pada 23 Mei 2015. Para ibu-ibu itu patungan mengumpulkan hadiah untuk bocah-bocah tersebut. Buku gambar, alat tulis, baju, tas, dan bando dikumpulkan dalam 2 kantong plastik besar yang akan dibagikan saat mereka di Dufan.

Tak ketinggalan pula keluarga bocah D dari sang ayah yang turut menjenguk ke safe house. Seperti dituturkan Sekjen KPAI Erlinda.

"Mereka juga pernah menitipkan secara finansial (memberi uang) semacam itu," ucap Erlinda pada 21  Mei 2015.

Erlinda menjelaskan, KPAI dan Kementerian Sosial (Kemensos) telah merundingan masalah hak kuasa pengasuhan bagi L (10), C (10), D (8), AL (5) dan DN (4). Ada tiga pilihan terkait pengasuhannya.  
 
Pertama adalah keluarga, atau panti milik Kemensos, atau Safe House SOS tempat mereka tinggal saat ini. Lalu siapakah yang akan mengasuh mereka kelak? (Ndy/Ein)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya