Liputan6.com, Jakarta - Para advokat dari Kongres Advokat Indonesia (KAI) mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Advokat . Hal ini menyusul dilarangnya mereka berperkara karena Pengadilan Tinggi tidak kunjung mengambil sumpah para advokat.
Para pemohon yang tergabung dalam Forum Advokat Perjuangan Indonesia ini telah mengajukan gugatan ke MK dengan No: 36/PUU-XIII/2015. Mereka yakni H.F Abraham Amos, Johny Bakar, Rahmat Artha Wicaksana, Andreas Wibisono, John Mirza, Mintarno, Ricardo Putra.
"Kami yang sudah menghabiskan banyak waktu dan mengeluarkan biaya-biaya pendidikan khusus profesi Advokat termasuk dan tidak terbatas mengikuti berbagai persyaratan untuk menjadi advokat sangat dirugikan dengan ketentuan ini," kata Juru Bicara Forum Advokat Perjuangan Indonesia, Johny Bakar, di Jakarta, Selasa (26/5/2015).
Johny mengatakan, dia memang bisa menjalani profesi pengacara. Namun, tidak boleh melakukan pembelaan terhadap klien di persidangan karena belum diambil sumpah di Pengadilan Tinggi. Dia menguji materi Pasal 4 UU No 18 Tahun 2003 mengenai Advokat.
Advertisement
Pada 2009, UU Advokat sudah pernah diuji ke MK. Putusan MK itu, nomor 101 tahun 2009 menyebutkan, ketentuan Pasal 4 ayat 1 mengatur, pengambilan sumpah harus dilakukan di depan Pengadilan Tinggi tidak konstitusional sepanjang tidak dipenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam amar putusan MK nomor 101.
Putusan itu juga menyatakan, kewajiban penyelenggara sumpah advokat oleh Pengadilan Tinggi adalah kewajiban atributif Pengadilan Tinggi yang diperintahkan undang-undang. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakan sidang terbuka untuk kepentingan pengucapan sumpah advokat.
Selanjutnya: Jangan Bedakan Peradi dan KAI...
Jangan Bedakan Peradi dan KAI
Jangan Bedakan Peradi dan KAI
Selain itu, Pengadilan Tinggi juga diwajibkan menyelenggarakan sidang terbuka untuk kepentingan pengambilan sumpah advokat tanpa membedakan dari mana organisasi berasal, yakni Peradi dan KAI.
Lalu, ketentuan Pasal 4 ayat 1 terkait sumpah advokat itu jangan sampai menimbulkan hambatan bagi para advokat untuk bekerja atau menjalankan profesinya yang dijamin UUD 1945.
"Putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut tidak satu pun dijalankan oleh pihak Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, malah justru oleh pihak Pengadilan Negeri seluruh Indonesia digunakan untuk menghambat seluruh advokat KAI yang hendak menjalankan profesin beracara mendampingi klien di pengadilan dengan alasan belum memiliki Berita Acara Sumpah dari Pengadilan Tinggi," imbuh dia.
Hal ini, menurut mereka, diperburuk dengan munculnya Surat Keputusan Mahkamah Agung (SKMA) No 89. Surat itu berisi perintah kepada pengadilan tinggi untuk mengambil sumpah para advokat yang berasal dari Peradi saja.
"Inilah yang membuat kami harus menguji kembali, karena dampak tidak dilaksanakan putusan MK tersebut advokat KAI makin tersudutkan. Padahal bukan kami yang tidak mau disumpah tapi pengadilan yang tidak mau mengambil sumpah advokat kami," kata dia.
Posisi MA
Johny mengatakan, Ketua Kamar Pembinaan MA Takdir Rahmadi saat memberikan keterangan di MK menyebut, Mahkamah Agung tidak masalah bila pengambilan sumpah advokat tidak harus dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Tinggi atau diserahkan kepada profesi Advokat itu sendiri.
MA tidak dalam posisi mengakui atau tidak mengakui keabsahan organisasi advokat. Terakhir, MA tidak juga ada kepentingan mempertahankan harus ada organisasi advokat tunggal atau jamak.
"Putusan MK nomor 101 itu merupakan sumber hukum setara Undang-undang yang bersifat final dan mengikat yang wajib dipatuhi para pihak tanpa terkecuali," kata Johny. (Mvi/Yus)
Advertisement