Liputan6.com, Jakarta Penggunaan bahan ringan pada rancangan-rancangan sequence pertama dari fashion show Oscar Lawalata Culture di Jakarta Fashion & Food Festival 2015 menjadi satu unsur kecil yang sedikit memberi tampilan positif dari total look-nya. Itupun harus ada upaya dari sang pemakai agar bahan-bahan busana itu menari-nari.
Warna-warni yang mencolok menjadi pilihan Oscar untuk diterapkan pada busana-busana dengan sulam yang minimal diaplikasikan pada kerah-kerah oriental maupun belt. Meski permainan draperi atau teknik moulage di karya-karya itu sesungguhnya menarik, hal tersebut tak berhasil menjadi kekuatan dari bagian pertama koleksi Oscar pada peragaan busana Senin malam itu, 25 Mei 2015.
Advertisement
Ia tertutup oleh cukup masifnya kesan plain dari look keseluruhan busana-busana monokomatik. Singkat kata, lumayan membosankan. Hal itu sungguh berbeda dengan imajinasi yang muncul akibat bunyi instrumen tradisional Tiongkok yang menjadi tanda para model siap berlenggang di catwalk Oscar.
Bersyukur rasa serupa tak dikudap hingga akhir gelaran busana yang diselenggarakan di hotel Harris Kelapa Gading. Sequence ke-2 terasa seperti angin sepoi-sepoi yang lebih menyegarkan. Palet warna yang masih bold di sini jadi lebih apik dengan penggunaan motif batik pesisir maupun embroidery yang lebih banyak.
Olahan kreatif kebaya encim menjadi atasan lengan pendek atau dress berlengan, baik yang berkerah cheongsam maupun V-neck, menunjukkan secara jelas soal inspirasi interaksi budaya Tiongkok dan Indonesia yang ada di kepala sang desainer – dengan demikian jelas juga soal motif batik pesisir yang digunakan dimana batik pesisir memang arena percampuran budaya mancanegara yang berlayar ke tanah air.
Dengan siluet desain yang light, busana-busana berbahan satin dan sutra itu mampu memancarkan satu sapuan feel etnik yang terasa kuat dengan sentuhan garis kekinian yang “membebaskannya” dari kepekatan tradisionalitas. Bagian sisi tubuh dari beberapa busana menjadi amat menarik perhatian dikarenakan cara jahit yang membuatnya tampak timbul keluar.
Desainer kenamaan Indonesia yang juga merupakan kakak dari aktor Mario Lawalata itu memberi judul `My Name is Asia` untuk koleksinya yang berisi 40 set busana. Pandangan Oscar tentang penguatan posisi Asia di dunia dalam berbagai bidang, termasuk fesyen, menjadi pendorong bagi penciptaan kreasi-kreasi desainer kelahiran 1977 itu. “Seiring dengan perkembangan posisi Asia di dunia, seperti ekonomi dan politik, fesyen tak lagi hanya merujuk ke Barat, tapi juga ke Asia,” ucap Oscar di konferensi pers.
Tak ada yang salah bila Asia menjadi driving force dari pembuatan busana-busana yang pengerjaannya memakan waktu sekitar 5 bulan. Tapi perihal mempresentasikannya dengan membawa nama Asia perlu mendapat perhatian tersendiri. Simak analogi ini.
Seseorang yang memperkenalkan diri dengan sebuah nama memang tak berarti memaparkan dirinya secara utuh melalui namanya. Sisi tertentu individu yang berada dalam nama itu kemudian akan disusun dengan sisi-sisi lainnya seiring dengan proses pengenalan lebih lanjut dari waktu ke waktu.
Kongruen dengan analogi tersebut, kepada Oscar perlu ditanya apakah kemudian akan ada serial `My Name is Asia` yang nantinya menyentuh wajah lain benua terbesar di dunia ini, semisal wajah India atau Arabia? Dari penjelasan Oscar di konferensi pers, kasusnya ini bukan sebuah peragaan busana berseri.
“Melihat kesaamaan Asia secara umum,” itulah penggambaran yang diberikan Oscar atas koleksinya. Memang tak mustahil ada satu elemen yang dapat ditemukan dari keseluruhan Asia yang amat beragam. Akan tetapi, bagaimana Asia begitu mengagumkan ialah justru karena kekayaan detil keberagamannya.
Menghadirkan (hanya) satu koleksi dengan nama Asia namun cuma membawa bagian tertentunya saja berisiko menuntun orang pada kemiskinan pengenalan akan Asia itu sendiri. Bukan cuma itu, lebih berat lagi hal tersebut bisa diinterpretasi sebagai simplifikasi Asia, bentuk kekerasan kultural yang meminggirkan ragam budaya Asia lain yang tidak termaktub dalam koleksi itu.
Dengan sebuah prasangka positif, cultural violence itu rasanya bukan tujuan sang desainer. Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa penting menjadi perhatian seorang desainer fesyen untuk bijak melangkah, melalui koleksi-koleksinya, mengingat peranan penting dalam bidang budaya yang diembannya. (bio/igw)
(Fotografer: Herman Zakharia)