Liputan6.com, Jakarta - Tim Perumus Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan, lembaga yang kini dipimpin Taufiequrachman Ruki ini memiliki kewenangan dan berhak mengangkat penyelidik dan penyidik independen.
Hal itu menanggapi soal putusan praperadilan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo, di mana Hakim Haswandi menyatakan penyelidik dan penyidik KPK tidak sah karena tidak berasal dari kepolisian dan kejaksaan.
"Pada dasarnya KPK punya kewenangan mengangkat dari sumber manapun. KPK berhak dan berwenang untuk mengangkat penyidik, penyelidik, dan penuntut yang independen, selain dari kepolisian dan kejaksaan," kata Anggota Tim Perumus UU KPK Firman Jaya Daeli usai diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (30/5/2015).
Firman mengatakan, kewenangan yang dimiliki KPK berbeda dengan putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu. Namun, apapun yang sudah diputus hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu, dia menghormati.
"Itu agak berbeda dengan keputusan kemarin. Tapi itu kan kewenangan hakim," ucap Firman.
Firman menyebutkan ada 2 solusi masalah ini. Pertama revisi UU KPK, di mana harus ada penjelasan lebih detail mengenai pengangkatan penyelidik, penyidik, dan penuntut secara independen. Sehingga tidak ada lagi perdebatan masa mendatang.
"Kedua, meminta semacam tafsir normatif ke MK (Mahkamah Konstitusi) soal penyidik tersebut. Karena (putusan) ini punya implikasi," saran Firman.
Revisi UU KPK
Advertisement
Firman mengatakan, KPK 3 kali kalah dalam sidang praperadilan, karena itu perlu ada pembenahan. Salah satunya revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Revisi UU KPK sangat dibutuhkan, agar semangat pemberantasan korupsi di lembaga anti-rasuah ini tetap terjaga.
"Ada kebutuhan sosiologis, yuridis. (Revisi) itu bukan segera, tapi sangat dibutuhkan. Supaya kemauan untuk memberantas korupsi tetap terjaga," kata Firman usai diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (30/5/2015).
Firman menilai, revisi UU KPK juga perlu dilakukan agar tidak ada lagi multitafsir dalam implementasi. Terutama terkait sah tidaknya pengangkatan penyidik, penyelidik, dan penuntut indepen oleh KPK. Di mana dalam praperadilan Hadi Poernomo, Hakim Haswandi menyatakan penyelidik dan penyidik dalam kasus Hadi tidak sah.
"Jangan sampai persoalan multitafsir jadi titik masuk untuk tidak memberantas korupsi," kata Firman.
Sambil menunggu revisi UU KPK, lanjut Firman, lembaga anti-korupsi itu juga perlu minta pendapat MK lewat uji materi undang-undang. Nanti dalam sidang uji materi Mahkamah akan mengundang stakeholder, ahli, dan pemerintah meminta keterangan mereka.
"Sebab nanti bisa jadi ada orang yang mengajukan praperadilan dengan isu yang sama. Bisa jadi hakimnya menjadikan putusan (Hakim) Haswandi salah satu pertimbangannya terkait status penyidik KPK," pungkas Firman.
Hakim tunggal Haswandi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Selasa 26 Mei memenangkan sebagian gugatan praperadilan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo dan memerintahkan KPK menghentikan penyidikan kasus tersebut. Hal itu bertentangan dengan Pasal 40 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan KPK tidak berwenang melakukan penghentian dan penuntutan.
Hakim dalam amar putusannya menjelaskan bahwa penyelidik dan penyidik KPK sesuai dengan Pasal 45 dan Pasal 46 UU KPK haruslah berstatus sebagai penyelidik atau penyidik di instansi sebelumnya, baik itu Polri atau kejaksaan.
Sedangkan penyelidik dalam kasus Hadi, yaitu Dadi Mulyadi dan 2 penyelidik lainnya, bukan merupakan penyelidik sebelum diangkat menjadi penyelidik KPK. (Rmn/Mvi)