Kisah Ibu Lima Anak yang Jadi Pemecah Batu

Lucy Kemunto, seorang ibu lima anak di Kenya, mengetahui tak ada tempat lain baginya untuk memeroleh nafkah selain menjadi penambang.

oleh Liputan6 diperbarui 01 Jun 2015, 20:00 WIB
Lucy Kemunto, seorang ibu lima anak di Kenya, mengetahui tak ada tempat lain baginya untuk memeroleh nafkah selain menjadi penambang.

Liputan6.com, Jakarta Lucy Kemunto, seorang ibu lima anak di Kenya, mengetahui tak ada tempat lain baginya untuk memeroleh nafkah selain menjadi penambang.

Dari pukul 08.00 sampai pukul 16.00 waktu setempat, ia mencurahkan semua usahanya untuk memecahkan batu di tambang Soweto di Desa Lare, Kabupaten Nakuru.

Bahkan di bawah guyuran hujan atau sengatan sinar Matahari, ia tak bisa meninggalkan pekerjaan berat yang dilakoninya sebab anak-anaknya harus mendapat makanan, pakaian dan alat tulis untuk bisa belajar.

Tapi untuk mengisi gerobak dengan kerikil bukan lah tugas mudah buat dia. Caranya melakukan pekerjaan lebih cepat agar bisa memperoleh lebih banyak uang mendapat bantuan dari putrinya yang cuma beberapa pekan lagi genap berusia 13 tahun.

"Ini bukan pekerjaan yang saya ingin anak saya kerjakan, tapi saya tak memiliki pilihan lain. Ini adalah pekerjaan berat dan kadang-kala saya merasa sakit sakit di dada," kata Kemunto pekan lalu, sebelum Hari Anak Internasional, kepada Xinhua.

Kemunto, yang tak bisa menyelesaikan sekolahnya akibat kemiskinan, mengatakan ia tak bisa memperoleh pekerjaan yang lebih baik sebab ia tak memiliki ketrampilan untuk meraih pekerjaan dengan bayaran bagus. Saat putrinya mengayun palu berat untuk menghancurkan bongkahan batu, Kemunto memberitahu dia bahwa ia mau anaknya bekerja keras di sekolah dan memperoleh hidup yang baik.

"Kamu tahu kamu harus melakukan pekerjaan ini karena kita perlu menabung buat biaya pendidikan tinggi. Jangan khawatir, kamu akan memiliki pekerjaan yang lebih baik pada masa depan. Untuk sekarang, kita haru berusaha sekuat tenaga," kata Kemunto kepada putrinya, yang tersenyum, sementara tubuhnya bermandi keringat.

Empat anaknya yang lain menemani dia di tambang itu tapi dia hanya mengizinkan mereka mengangkat atau mendorong potongan batu yang lebih kecil.

"Ketika mereka tumbuh lebih besar dan melihat saya masih di sini, mereka akan bergabung dengan saya," kata Kemunto, seperti dikutip Xinhua. Ia menambahkan ia selalu prihatin dengan debu yang mereka isap, yang mempengaruhi pernafasan mereka. Tapi ia sendiri tak berdaya sebab tambang tersebut adalah satu-satunya sumber nafkahnya.

Di seluruh Kenya, dengan angka kemiskinan tinggi terutama di daerah pedesaan, anak-anak yang berusia di bawah 16 tahun menjadi bagian dari tenaga kerja kasar.

Sementara orang tua nyaris tak bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka, anak-anak dipaksa bekerja di pertanian, rumah tangga, tambang dan bahkan industri.

Karena kondisi itu lah, putri Kemunto termasuk di antara ribuan anak di negeri tersebut yang telah dipaksa melakukan pekerjaan yang agak berat dan berbahaya baik untuk makan atau membayar biaya sekolah buat diri mereka.

Undang-Undang Dasar Kenya menetapkan ketentuan hidup yang berkualitas buat anak-anak. Namun, tingginya angka kemiskinan di lebih dari 46 persen rumah tangga menghalangi jalan pemerintah untuk memberi anak-anak tempat tinggal yang aman, pakaian yang layak, pendidikan yang berkualitas dan perawatan medis yang layak.

Sekalipun Kemunto berharap ia bisa membiarkan putrinya memusatkan diri pada pelajarannya, masalah untuk memberi makan anaknya yang lain membuat ibu itu menghadapi pilihan yang mengganggu: merekrut putrinya, yang masih dalam usia sekolah, bekerja bersamanya.

"Kemiskinan adalah musuh dalam penerapan hak asasi anak di Kenya," kata Bernard Obutu, seorang pengacara utnuk anak-anak.

Buat orang tua yang miskin seperti Kemunto, katanya, pelaksanaan hak anak menjadi dilema sebab mereka juga memandang anak-anak sebagai sumber daya manusia untuk memperoleh nafkah.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya