Liputan6.com, Kendal - Sejak pagi, Sri Murtini (61) warga asli Cepiring, Kabupaten Kendal, sudah heboh. Ia berdandan tak seperti biasanya. Lilitan kain, kebaya dan rambutnya terlihat lebih rapi.
Jelang siang, akhirnya dia berangkat menuju ke Desa Plumbon, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Dia hendak menghadiri pemasangan nisan di sebuah kompleks pekuburan tak dikenal bersama sejumlah orang.
Rombongan itu pergi ke pemakaman yang terletak di tengah hutan.
Air mata Sri meleleh ketika menyusuri jalan setapak hutan itu. Terlebih dengan adanya lengkingan suara saxophone yang ditiup pastor, Romo Aloys Budi Purnomo. Suara menyayat itu bergema, membelah hutan.
Lantunan bacaan Al I'tirof yang direspons secara musikal oleh Romo Budi tersebut menjadi lagu pengiring perjalanan rombongan menuju lokasi pekuburan massal, tempat para korban pembantaian 1965 dikuburkan.
Tangis Sri semakin menjadi lantaran dia teringat Yusuf Setyo Widagdo. Ayah angkatnya itu terbujur kaku, terkubur di lahan yang kini dikelola Perhutani KPH Kendal.
"Saya sudah 50 tahun lebih berusaha mencari tahu kondisi bapak. Baru beberapa hari lalu ada yang datang ke rumah, mengabarkan almarhum menjadi salah satu orang yang dikubur di sana," kata Sri Murtini kepada Liputan6.com, Selasa (2/6/2015).
Sri mengaku sangat berterima kasih kepada siapapun yang selama ini meluangkan waktu untuk mengurus makam tersebut.
"Saya tidak tahu di mana jenazah bapak. Terima kasih masih ada yang peduli. Dari dulu tidak tahu, sudah 50 tahun lebih," kata Sri sambil menangis.
Selain Sri Murtini, ada beberapa orang yang masih memiliki hubungan keluarga dengan jenazah yang ada di kuburan massal itu juga tidak bisa menahan kesedihannya.
Upaya Rekonsiliasi
Sesampai di makam, Sri dan keluarga korban pembantaian 1965 lainnya menaburkan bunga. Penghormatan tersebut diiringi lantunan lagu Padamu Negeri dari saxophone yang sama.
Mereka lalu memasang nisan yang bertuliskan delapan nama. Mereka adalah orang yang berhasil diidentifikasi di tengah dua liang lahat di pekuburan massal tersebut.
Dua liang lahat ini terletak di bawah pohon jarak. Beberapa saksi hidup menyebutkan ada sekitar 24 orang dikubur di dua makam itu.
Tepat di Hari Kelahiran Pancasila, 1 Juni ini, pihak keluarga, warga Plumbon, pegiat sejarah, mahasiswa, dan beberapa pihak lainnya termasuk Pemkot Semarang dan Perhutani menggelar pemasangan batu nisan bagi para korban yang sudah teridentifikasi.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi minta maaf karena tak bisa ikut menghadiri pemasangan nisan itu. Ia menyatakan, ini semua adalah bentuk dukungan pemerintah kota Semarang dalam mewujudkan rekonsiliasi nasional.
"Langkah yang sangat kecil dibandingkan yang dilakukan teman-teman Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) yang bersedia menginvestigasi. Semoga rekonsiliasi segera terealisasi," kata dia kepada Liputan6.com.
Sementara itu, Koordinator PMS-HAM, Yunantyo Adi mengatakan warga sekitar sebenarnya sudah mengetahui tentang adanya makam orang-orang yang dibantai dalam tragedi 1965.
"Dulu sempat jadi pembicaraan publik, ada yang untuk cari nomor (togel) terus untuk diskusi kampus, tapi kok cuma diskusi doang, harus ada sesuatu yang dilakukan," kata Yunantyo.
Setelah berkoordinasi dengan Komnas HAM, dilakukanlah prosesi pemakaman yang layak. Ternyata ada kendala karena harus forensik atau tes DNA.
"Sebagai manusia, mereka juga punya hak mati diperlakukan lebih baik. Dari Komnas HAM kendala forensik, tes DNA, dan lain-lain," kata Yunantyo.
Ada delapan nama dari 12 jenazah yang sudah teridentifikasi, ditulis di nisan. Delapan nama itu yakni Moetiah, Soesatjo, Darsono, Sachroni, Joesoef, Soekandar, Doelkamdi, dan Soerono. Pada bagian bawah nisan tertulis, "Gugur dalam peristiwa 1965 semoga diterima di sisi-Nya."
Acara pemasangan batu nisan itu berlangsung khitmat, doa-doa dilantunkan, puisi dan tembang macapat juga dilantunkan oleh para seniman. (Bob/Yus)
Advertisement