Liputan6.com, Jakarta Jagat film horor Hollywood saat ini boleh dibilang dikuasai tiga nama: Oren Peli, James Wan dan Leigh Whannell. Tiga nama itu yang juga membidani kelahiran Insidious: Chapter 3.
Oren Peli, mungkin Anda masih ingat, tahun 2007 silam menghentak jagat film horror dengan Paranormal Activity. Dikonsep dengan format seolah hasil rekaman video amatir, efek seram yang diinginkan jadi kian terasa nyata di mata penonton. Filmnya tak ayal menjadi fenomena saat rilis.
Advertisement
Sedangkan James Wan dan Leigh Whannell adalah rekan kolaborasi yang melahirkan Saw tahun 2004. Film horor slasher berbujet minim itu lalu beranak pinak jadi franchise sukses.
Tiga orang ini, Oren Peli, James Wan dan Leigh Whannell, pantas disebut penguasa lanskap film horor Hollywood hari ini lantaran mereka mampu membuktikan pada pihak studio, mampu membuat film horror keren dengan bujet minim.
Tahun 2010, Peli, Wan, dan Whannell berkolaborasi melahirkan film horor anyar, Insidious. Peli jadi produser; Wan jadi sutradara; sedang Whannell yang menulis skenarionya.
Bila ditelisik, jika Paranormal Activity berformat dokumenter bohongan found footage, Insidious sejatinya mengambil jalan cerita horor klasik era 1970-an. Rasa seram dibangun bata demi bata. Kelihatan pula, tiga sineas ini meminjam bagaimana film-film horor dari Asia berhasil membuat penontonnya ketakutan.
Perlu Anda ingat pada 1980-an hingga awal 2000-an film horor Hollywood tampak mandek dengan narasi yang itu-itu saja. Film yang menampilkan atmosfer horor sesungguhnya sudah jarang di buat Hollywood kala itu.
Saat di Asia booming film horor dengan The Ring atau Ju-On dari Jepang, A Tale of Two Sisters dari Korea, The Eye dari Hong Kong, hingga Shutter dari Thailand, Hollywood kemudian baru sadar ketinggalan dari orang Asia untuk urusan bikin penonton ketakutan di bioskop. Hollywood kemudian membuat ulang (remake) versi mereka dari film-film horor Asia tersebut. Namun yang dihasilkan jiplakan mentah-mentah yang tentu saja tak memberi sensasi baru bagi penonton.
Saat itulah, di pengujung 2000-an James Wan dan Oren Peli muncul dengan formula jitu mereka: tak perlu bintang Hollywood terkenal (yang berarti memangkas bujet pemain) untuk bikin film horor. Wan dan Peli yakin, saat nonton film horor, penonton ke bioskop untuk ditakut-takuti bukan untuk melihat aktor/aktris idola mereka. Jumlah pemain pun tak perlu banyak. Kurang dari 10 aktor/aktris juga cukup. Setting pun tak perlu repot-repot yang membutuhkan tata artistik njelimet, cukup di rumah saja. Hal itu yang bikin filmnya tak butuh biaya banyak.
Saw pertama dibuat dengan modal USD 1,2 juta dan menghasilkan uang USD 103,9 juta dari seluruh dunia. Sedangkan Paranormal Activity misalnya, dibuat dengan modal cuma USD 15 ribu tapi mampu mendatangkan untung sepuluh ribu kali lipat jadi USD 153 juta lebih!
Insidious pertama dikerjakan Wan, Peli, dan Whannell dengan bujet hanya USD 1, 5 juta tapi menghasilkan pemasukan USD 97 juta. Selain sukses komersil filmnya juga disukai kritikus film (skor Rottentomatoes-nya 66 persen).
Dan sesuai hukum yang berlaku di Hollywood, film sukses akan beranak-pinak jadi franchise. Insidious pun berlanjut dengan Insidious: Chapter 2 pada 2013 dan kini melihat Insidious: Chapter 3 di bioskop.
Takdir Franchise Film Horor
Takdir Franchise Film Horor
Nah masalahnya, tak ada sekuel film horor yang mampu melampaui kualitas film pertama.
Itu hukum lain yang juga berlaku di jagat film horor. Ian Buckwalter di laman The Atlantic, ia mengambil contoh The Exorcist dan Rosemary’s Baby, dua film horor rilisan tahun 1970-an yang hingga kini dianggap sebagai dua film horor terbaik sepanjang masa. Sekuel-sekuel film tersebut tak mampu menandingi film pertamanya. Buckwalter menulis, sekuel-sekuelnya malah masuk kategori film-film terburuk yang pernah dibuat.
Menyangkut sekuel, film horor memang sedikit kurang beruntung di banding film aksi. Sekuel film aksi bisa melanjutkan petualangan sang jagoan dengan musuh baru, setting baru, maupun aksi yang lebih megah dibanding film sebelumnya.
Film horor kadang tak punya keistimewaan seperti itu. Meski menakutkan dengan cara berbeda, lantaran cerita muasalnya sama, penonton kerap menganggapnya sebagai pengulangan alias repetisi.
Cerita Insidious sebetulnya tamat di film kedua. Kita melihat masalah makhluk halus yang menghantui keluarga Lambert telah selesai. Elise Reiner (Lin Shaye) yang jadi hantu baik akhirnya meneruskan tugasnya sebagai pembasmi hantu dengan Specs (Leigh Whannell) dan Tucker (Angus Sampson).
Saat itu kita pikir, bila filmnya berlanjut bab-bab lain Insidious bakal jadi petualangan Elise dan tim pemburu hantunya.
Dan begitulah kemudian film ketiga alias Insidious: Chapter 3 mengarah. Namun, alih-alih melanjutkan film kedua, Leigh Whannell yang menggantikan James Wan di kursi sutradara, mengarahkan film ketiga jadi prekuel alias menceritakan kisah sebelum film pertama. Yang jadi fokus cerita adalah Elise Reiner, sang paranormal, dan bagaimana tim pemburu hantunya terbentuk .
Di film ketiga ini yang dihantui adalah gadis remaja bernama Quinn (Stefanie Scott). Semula, ia meminta bantuan Elise untuk bisa berkomunikasi dengan ibunya yang telah tiada.
Namun, ternyata ada hantu jahat yang menghantui Quinn di apartemennya. Elise yang sebetulnya memiliki trauma dengan dunia paranormal, terpaksa “turun gunung” membantu Quinn.
Sebagai prekuel, film ini juga mengajak kita pada The Further, dunia lain tempat darimana hantu-hantu berasal. Masuk ke The Further ibarat memasuki wahana rumah hantu. Di ruang gelap menyeramkan, kita tak tahu hantu bagaimana yang akan menakuti.
Sebagai sebuah film yang formulanya sudah dihapal penonton setianya, Insidious: Chapter 3 berupaya tak menyajikan repetisi. Upaya keras Leigh Whannell di sini patut kita hargai. Ia masih berhasil menyuguhkan tontonan seram yang menyenangkan ditonton sambil ketakutan ramai-ramai di bioskop.
Pada akhirnya, sebagai sebuah franchise yang tumbuh beranak-pinak, tujuan utama Insidious sudah tercapai dengan Chapter 3 ini. Filmnya masih bikin kita dibuat kaget ketakutan.*** (Ade/Fir)
Baca Juga
Advertisement