Kata Pakar LIPI tentang Cacing di Bantul Pertanda Gempa

Cacing-cacing yang keluar ke permukaan tanah dalam keadaan lemas sukses membuat warga Bantul di Yogyakarta resah.

oleh Nadya Isnaeni diperbarui 03 Jun 2015, 21:20 WIB
Cacing tanah ternyata dapat dijadikan obat penyakit tipus. Meski tampak menjijikkan, tapi obat yang satu ini bebas bahan kimia.

Liputan6.com, Jakarta - Cacing-cacing yang keluar ke permukaan tanah dalam keadaan lemas sukses membuat warga Bantul di Yogyakarta resah.

Tak sedikit yang percaya jika fenomena ini merupakan pertanda gempa bumi, ada hubungannya dengan aktivitas tektonik. Seperti yang terjadi saat gempa 5,9 skala Richter mengguncang Yogyakarta pada 2006 lalu.

Namun pakar gempa dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman Natawidjaja punya pendapat lain. "Kemungkinannya kecil kalau (alasan cacing-cacing ke permukaan tanah) karena tektonik," kata Danny kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (3/6/2015).

Dia mengatakan, jikapun ada gempa, kemungkinan itu karena aktivitas tektonik yang berasal dari lepas pantai. Meskipun lokasi tersebut, menurut dia, berada jauh dari lepas pantai.

Sementara, kata Danny, energi untuk bisa menimbulkan gempa besar di lokasi itu telah terpakai pada 2006. Dan butuh waktu puluhan tahun untuk mengumpulkan energi baru sebelum bisa menghasilkan gempa.

Dia menduga, ada faktor lain yang menyebabkan cacing-cacing tersebut gelisah dan keluar hingga ke permukaan tanah. "Kemungkinan besar karena ada perubahan iklim, perubahan environment (lingkungan)," ucap dia.

Namun begitu, dia tak menampik, ada kemungkinan gejala tektonik di suatu tempat bisa saja terbaca lewat perilaku hewan-hewan di sekitarnya. Seperti cacing ini. Perubahan di alam, kata dia, dapat membuat hewan-hewan merasa gelisah dan tak nyaman.

"Insting makhluk hidup bisa merasakan perubahan di alam, seperti waktu gempa di Padang (Sumatera Barat). Sejak sebelum gempa kok tiba-tiba hewan-hewan besar yang nggak keluar, tiba-tiba keluar," ujar dia.

Namun, menurut Danny, hal itu tak selalu terjadi sehingga tak bisa dijadikan indikator atau tolak ukur pertanda gempa. Butuh alat untuk memastikan hal tersebut.

"Enggak selalu terjadi, waktu (gempa) Aceh nggak ada, waktu gempa Nias nggak ada, Mentawai nggak ada," tutur dia.

"Belum tervalidasi. Kalau ada satu metode yang nggak tentu, nggak bisa diulang lagi dengan cara yang sama, nggak bisa diakui sebagai scientific method (metode ilmiah)," pungkas Danny. (Ndy/Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya