Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah ke level terendah sejak Agustus 1998. Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) Franciscus Welirang angkat bicara mengenai pengaruh tumbangnya rupiah kepada sektor riil.
Sebagai pengusaha, Pria yang akrab disapa Franky ini ingin agar rupiah selalu berada di level Rp 2.500 per dolar AS. Sebab hal itu bisa menekan biaya operasional perusahaan yang ada di Indonesia. Maklum, saat ini sebagian besar perusahaan di Indonesia masih mengimpor bahan baku untuk memproduksi.
"Rupiah maunya Rp 2.500 per dolar AS. Kalau tembus Rp 13.000 per dolar AS ya okelah, mau gimana lagi," kata Franky saat ditemui di acara Peringatan Hari Kemerdekaan Amerika Serikat yang ke-239 tahun di kediaman Dubes AS, Menteng, Jakarta, pada kamis 4 Juni 2015.
Franky menyarankan kepada pemerintah beberapa cara agar rupiah bisa kembali perkasa. Apalagi setelah lebaran, ekonomi Indonesia akan kembali melandai.
Salah satu caranya yaitu dengan mencairkan anggaran pemerintah untuk mendorong roda perekonomian.
"Selama ini menurut saya perekonomian Indonesia didukung swasta. Sekarang saatnya pemerintah mencairkan anggaran untuk menggerakkan perekonomian," terang dia.
Nilai tukar rupiah tergelincir ke level 13.295 per dolar AS pada perdagangan hari ini. Berdasarkan data Reuters, level tersebut merupakan terendah sejak Agustus 1998.
Advertisement
Investor tarik dana
Analis Sumitomo Mitsui Banking Corporation, Singapura, Satoshi Okagawa menjelaskan, penurunan rupiah ini merefleksikan investor telah melihat bahwa Indonesia sudah bukan merupakan tempat investasi yang menarik lagi, terutama untuk investasi di pasar keuangan. Menurutnya, investor telah menarik dana-dana mereka dari aset-aset keuangan.
"Sebenarnya langkah penarikan aset ini dipimpin oleh para investor lokal yang kemudian karena pelemahan terlalu besar maka investor asing menyusul," jelas Okagawa.
Rupiah menjadi mata uang di Asia yang mengalami pelemahan terdalam jika dibandingkan dengan mata uang lainnya. Pelemahan ini terjadi karena adanya kekhawatiran akan perlambatan ekonomi dan juga defisit transaksi berjalan.
Pada kuartal I 2015 kemarin, Badan Pusat Statisitik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 4,71 persen secara tahunan (year on year/yoy), atau turun dibandingkan kuartal I 2014 sebesar 5,21 persen.
Namun memang, seluruh mata uang di Asia mengalami pelemahan pada pekan ini karena tertekan akan kenaikan imbal hasil obligasi Amerika Serikat. (Mohamad Teguh/Ndw/Gdn)