Rupiah Terus Berkutat di 13.300 per Dolar AS

Dalam perdagangan hari ini rupiah berada di kisaran 13.338 per dolar AS hingga 13.385 per dolar AS.

oleh Arthur Gideon diperbarui 09 Jun 2015, 11:32 WIB
Ilustrasi Rupiah (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus berkutat di level 13.300 pada perdagangan Selasa (9/6/2015). Rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) masih menjadi sentimen utama yang menekan rupiah.

Melansir data valuta asing Bloomberg, pada pukul 10.47 WIB, nilai tukar rupiah menguat tipis 0,01 persen ke level 13.383 per dolar AS jika dibanding dengan penutupan sehari sebelumnya yang tercatat ada di level 13.385 per per dolar AS.

Di sesi awal perdagangan, nilai tukar rupiah berada di level 13.354 per dolar AS. Dalam perdagangan hari ini rupiah berada di kisaran 13.338 per dolar AS hingga 13.385 per dolar AS.

Sementara, Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, mencatat nilai tukar rupiah melemah 2 basis poin ke level 13.362 per dolar AS jika dibandingkan dengan perdagangan kemarin yang ada di level 13.360 per dolar AS.

Mengutip Bloomberg, nilai tukar rupiah telah tertekan 7,3 persen sepanjang tahun ini. Di beberapa bank lokal nilai tukar rupiah telah menyentuh level 13.385 per dolar AS, yang merupakan level terendah sejak Agustus 1998.

Ekonom Utama Allianz SE, Mohamed El-Erian menjelaskan, data tenaga kerja Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu penyebab penguatan dolar AS sehingga menekan hampir seluruh mata uang di dunia termasuk rupiah.

Dengan membaiknya data tenaga kerja maka ada peluang bagi Bank Sentral AS atau The Fed untuk segera menaikkan suku bunga pada tahun ini. "Ada kemungkinan yang lebih besar The Fed akan melakukan aksi pengetatan moneter di tahun ini," jelasnya.

Menurut El-Erian, jika suku bunga The Fed naik maka akan membuat investor menata uang investasinya dan menarik dana-dana dari negara-negara berkembang untuk kembali ke Amerika.

Pelarian dana-dana tersebut sudah mulai terlihat, dalam satu pekan terakhir, investor asing terus melakukan aksi jual dalam transaksi di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan nilai rata-rata mencapai Rp 400 miliar.

PT Mandiri Sekuritas mencatat jika rupiah terus melemah dan menyentuh level 13.400 per dolar AS, ada kemungkinan dana asing sebesar RP 46 triliun yang telah masuk di beberapa surat utang Indonesia pada periode Januari dan Februari 2015 kemarin akan keluar.

Pemerintah Indonesia telah menerbitkan surat utang sebesar Rp 173 triliun dari awal tahun hingga periode Mei 2015 kemarin. Nilai tersebut sudah mendekati 50 persen dari target penerbitan pemerintah.

Analis Valuta Asing PT BNI Tbk,  Ikhwani Fauzana menjelaskan, Bank Indonesia saat ini dalam posisi yang sulit. inflasi diperkirakan akan meningkat seiring dengan adanya beberapa ancaman El Nino yang bisa mengganggu pasokan bahan makanan. Seharusnya, dengan menaikkan suku bunga acuan inflasi bisa diredam.

Namun di sisi lain, kenaikan BI Rate tersebut akan memperlambat investasi sehingga pertumbuhan ekonomi bisa melambat. Perlambatan ini ditakutkan akan membuat investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Bank Indonesia (BI) memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) berada di kisaran 13.000 per dolar AS hingga 13.400 per dollar AS pada 2016. Tekanan terhadap rupiah akan lebih banyak dari faktor eksternal.

Gubernur BI, Agus Martowardojo menjelaskan, sentimen global menjadi penekan nilai tukar rupiah. Seperti tahun ini, pelemahan rupiah lebih banyak disebabkan sentimen dari perbaikan ekonomi di Amerika Serikat yang berimplikasi pada penguatan dollar AS secara luas. Perbaikan ekonomi Amerika membuat dana-dana yang tadinya masuk ke negara berkembang seperti Indonesia ditarik kembali.

"Eksternal, didorong penguatan dollar AS. Kebijakan quantitave easing yang ditempuh bank sentral Eropa. Kemudian kekhawatiran negosiasi fiskal dari Yunani," ujar Agus.

Agus juga menjelaskan, penguatan dollar AS bisa menimbulkan perang mata uang (currency war) antara satu negara dengan negara lain. Peluang perang suku bunga akan lebih besar jika kenaikan suku bunga The Fed dilakukan secara bertahap.

"Justru yang saya lihat, tiga tahun ke depan akan terus ada currency war karena kalau program peningkatan bunga berjalan berkala akan berdampak ke mata uang negara lain. Mata uang negara lain antara satu dengan lain akan menjaga posisi kompetitif mata uangnya, tentu perlu kami antisapasi," kata dia.(Gdn/Nrm)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya