Liputan6.com, Jakarta - Penasehat Hukum Anas Urbaningrum, Firman Wijaya, menyebut ada arogansi judicial dalam putusan Mahkamah Agung (MA) yang memperberat hukuman kliennya 2 kali lipat dari 7 tahun menjadi 14 tahun penjara. Menyikapi putusan itu pihaknya akan mendiskusikannya lebih dulu dengan Anas seraya menunggu salinan putusan dari MA.
"Tentu juga kita akan menunggu salinan putusan. Tetapi secara tegas saya katakan, itu vonis brutality dan tidak ada keseimbangan keadilan menurut saya," kata Firman di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (9/6/2015).
Langkah hukum yang akan diambil, menurut Firman, pihaknya akan memberikan catatan atau eksaminasi. Juga melakukan upaya 'perlawanan' dengan mengajukan peninjauan kembali (PK).
Putusan Hakim Agung Artidjo Alkostar cs itu dianggapnya telah melampaui kewenangan MA memutus perkara yang hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara atau judex juris.
"Saya pikir itu vonis brutality, karena walaupun saya belum membaca pertimbangan saat ini, tapi saya pikir putusan Hakim Artidjo melampaui kewenangannya di bidang judex juris. Jadi ada arogansi judicial yang tampak dari putusan itu," ujar Firman.
Firman mengungkapkan, dirinya tidak melihat ada pertimbangan lain pada putusan itu. Ia mengaku hanya melihat putusan tersebut terlalu pro kepada KPK.
"Saya lihat secara politis terlalu pro kepada KPK. Jadi unfairness-nya di situ, pertimbangan-pertimbangan juridis yang diajukan sama sekali tidak dipertimbangkan," imbuh dia.
Kendati begitu, pihaknya belum ada niat untuk melaporkan Hakim Artidjo. Dirinya belum bisa menilai lebih jauh Artidjo dalam kapasitas sebagai hakim agung.
"Karena posisi dia (Artidjo) sebagai judex juris yang menilai hukumnya saja. Tapi saya lihat persoalannya yang disampaikan media, itu masuk dalam judex facti (berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara)," tambah dia.
Pihaknya melihat vonis ini tidak baik bagi posisi hakim agung. "Posisi itu sangat tinggi, hakim mestinya menegakan keadilan, bukan sekedar memberi hukuman namun sekedar mengoreksi proses putusan sebelumnya."
Soal pencabutan hak politik terhadap Anas, Firman menilai putusan itu sangat aneh. Apalagi, menurutnya hakim yang memeriksa Anas tidak memiliki aktivitas politik.
"Pencabutan hak politik itu mengandung keanehan, karena hakim pertama selaku pemeriksa itu tidak ada aktivitas politik," tutup Firman.
Majelis Hakim Agung yang terdiri dari Artidjo Alkostar, Krisna Harahap, dan MS Lumme melipatgandakan hukuman Anas dari 7 tahun menjadi 14 tahun pidana penjara, denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun 4 bulan kurungan.
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu juga harus membayar uang pengganti Rp 57.592.330.580 kepada negara. Bila uang pengganti ini dalam waktu 1 bulan tidak dilunasinya, seluruh kekayaannya akan dilelang. Dan bila masih juga belum cukup, Anas terancam penjara selama 4 tahun. (Mut/Yus)
Advertisement