Angeline dan Arie Hanggara, Kisah Tragis yang Berulang?

Kasus yang menimpa Angeline mengingatkan kita pada sebuah film tahun 1985 berjudul "Arie Hanggara" yang diadaptasi dari kisah nyata.

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 12 Jun 2015, 06:00 WIB
Kasus yang menimpa Angeline mengingatkan kita pada sebuah film tahun 1985 berjudul "Arie Hanggara" yang diadaptasi dari kisah nyata.

Liputan6.com, Jakarta Bocah perempuan berparas cantik bernama Angeline (8) yang sempat dinyatakan hilang telah ditemukan. Namun, tubuh mungil itu tak lagi dapat bergerak, hembusan napas pun tak keluar dari lubang hidungnya.

Tiga minggu hilang, tak tahunya dia terkubur di dalam gudukan tanah bercampur dengan sampah dan kotoran hewan peliharaan, yang berada di samping kandang ayam halaman belakang kediaman ibu angkatnya, Margaretha Magawe. 

Penemuan jazad bocah yang diadopsi sejak berusia tiga hari itu tak hanya menyulut emosi para tetangga di sekitar Jalan Sedap Malam Nomor 26 Sanur, Bali. Orang-orang yang mengikuti kasusnya pun tak kalah emosinya. Rabu (10/6/2015) ucapan duka, simpati, cacian dan makian untuk si pembunuh membanjiri linimasa jejaring sosial. 

Kasus yang menimpa Angeline mengingatkan kita pada sebuah film tahun 1985 berjudul Arie Hanggara yang diadaptasi dari kisah nyata. Arie Hanggara adalah simbol ketidaksiapan orangtua menerima kehadiran seorang anak. 

Film yang dibintangi Yan Cherry Budiono, Deddy Mizwar, Joice Erna, Anissa Sitawati, dan Cok Simbara itu bercerita tentang seorang bocah laki-laki berusia 8 tahun bernama Arie Hanggara yang selalu dianiaya ayah kandungnya hingga tewas. Kejadian ini menggemparkan masyarakat Indonesia pada 1984.

Arie Hanggara dianiaya ayah kandungnya, Machtino yang dikompori ibu tirinya, Santi.

Menurut pengakuan para tetangga, mudah bagi Tino melayangkan telapak tangan ke pipi kecil Arie Hanggara dengan kekuatan kuli. Andai gagang sapu di rumah mereka bisa berbicara, dipastikan gagang sapu tersebut tidak hapal sudah berapa kali digunakan untuk memukuli tubuh Arie.

Alih-alih ingin mendisplinkan anak-anaknya, Tino tak sadar kalau telah membuat Arie Hanggara tak berdaya. Maklum, Tino adalah seorang pengangguran dan pemalas, yang mudah sekali emosi saat frustrasi menghampirinya.

Sebelum tubuh Arie Hanggara ditemukan kaku tak berdaya, para tetangga sempat mendengar bentakan Tino yang memerintahkan Arie Hanggara menghadap tembok. Mungkin, setelah itu, Tino kembali menghajar buah hati yang seharusnya dia lindungi.

Sama seperti kasus Angeline, masyarakat terlebih warga sekitar kediaman Tino merasa gemas terhadap perilaku orangtua yang tidak bertanggungjawab itu. Rekonstruksi pembunuhan harus diulang bekali-kali, karena TKP penuh orang-orang yang siap melayangkan telapak tangannya ke muka Tino dan Santi.

Jika saat kasus Angeline sudah banyak media massa yang mengungkap, waktu itu hanya Majalah Tempo yang menjadikan kasus ini berita yang panjang, sepanjang judul di halaman muka: “Arie namanya. Ia mati dihukum ayahnya. Mungkin anak kita tidak. Tapi benarkah kita tidak kejam?”

Meski sama-sama meninggal dengan cara tak wajar di usia 8 tahun, `pencabut nyawa` Angeline dan Arie Hanggara berbeda. 


Macam-macam Bentuk Kekerasan pada Anak

Macam-macam Bentuk Kekerasan pada Anak

"Dulu orang mengira bahwa yang disebut kekerasan terhadap anak hanya seperti kasus Arie Hanggara, tapi masih ada kekerasan fisik terhadap anak lainnya," kicau Psikolog Anak dan Keluarga, Anna Surti Ariani melalui akun @AnnaSurtiNina, sehari sebelum jasad Angeline ditemukan.

Lebih lanjut, apabila definisi kekerasan di dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, kekerasan sama dengan perbuatan terhadap anak yang berdampak munculnya kesengsaraan dan penderitaan. Baik secara fisik, psikis, seksual, dan pelantaran. Termasuk ancaman melakukan perbuatan, pemaksaan, perampasan kemerdaan. Sebab, tindakan ini melawan hukum.

Banyak orang, lanjut Nina dalam kicauannya, mengira kekerasan terhadap anak hanya dilakukan oleh mereka yang tidak sayang pada anak. Sesungguhnya, yang sayang juga bisa saja melakukan tindakan keji itu.

"#Sekolahortu. Kalau sampai orangtua yang sayang anak melakukan kekerasan, biasanya karena ketidaktahuan, atau adanya masalah berat," lanjut Nina.

Namun, apa pun alasan yang kerap dilontarkan orangtua usai menindas buah hatinya, sejatinya seorang anak harus tetap dicintai. "Anak tak boleh sampai mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk," terang Nina.


Kekerasan terbagi

Nina menjelaskan, kekerasan terhadap anak terbagi 4;

1. Fisik

Mencakar, mencubit, memukul, menyiram air panas, menyetrika, dan membanting adalah tindak kekerasan secara fisik. Tolong diingat, kekerasan fisik tak sama dengan disiplin. 

Kekerasan tak bisa diprediksi, tanpa tahu apa yang membuat orangtua marah. Aturan yang ditekankan kurang jelas, ada standar ganda, yang membuat anak seperti terus menebak-nebak apa yang harus mereka lakukan.

"Beda lainnya, kekerasan cenderung mengandalkan kemarahan untuk mengontrol anak, bukan motivasi orangtua mendidik anak penuh cinta," tulis Nina.

Pembeda lainnya adalah orangtua yang kerap melakukan kekerasan fisik seringkali percaya bahwa cara mengatur anak adalah dengan menakutinya. "Jadi, orangtua melakukan kekerasan agar anak tetap `di dalam pagar`, sehingga yang dipelajari anak adalah cara menghindari kemarahan orangtua, bukan mengatur diri sendiri," kata Nina.

2. Seksual

"Kekerasan seksual mencakup menstimulasi anak secara seksual, meminta anak berfoto seksi pun termasuk pornografi. Selain itu, menyentuh kemaluan anak secara paksa dan mendorong anak melakukan kegiatan seksual atau pornografi," kata Nina.

3. Emosional

Menurut Nina, kekerasan emosional tanpa disadari sering kita lakukan. Misalnya, mengkritik anak secara berlebihan, memarahi, bahkan mencelakai binatang kesayangan anak. Kekerasan emosi mencakup mengancam, misalnya,"Awas, lho, kalau makannya nggak habis, nanti disuntik dokter," kata Nina. 

4. Penelantaran atau pengabaian

Sama seperti kekerasan emosional, kekerasan yang satu ini juga sering dilakukan orangtua. Misalnya, tak memberikan fasilitas yang dibutuhkan anak. Contohnya, anak tak diberi makan bahkan ketika mereka lapar. 

"Mencakup juga orangtua yang menyerahkan pengasuhan kepada orang lain, tanpa betul-betul mengetahui apa yang terjadi pada anak," kata dia.

Menyangkut mendiang Angeline, Nina menyabut kekerasan yang diterima bocah malang itu adalah fisik dan emosional.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya