Citizen6, Jakarta Kisah sang penyair Chairil Anwar ini bermula di Pantai Cilincing, daerah Jakarta Utara. Suatu hari yang cerah di tengah musim penghujan tahun 1943, Chairil yang asik membaca buku tak menyadari ada seorang perempuan memperhatikannya. Perempuan bernama Sumirat ini terpaku memandang Chairil yang tampak asik dengan buku di tangan dan abai dengan keramaian sekitar.
Sumirat, murid dari pelukis Affandi ini hanya mampu memandang hingga di kemudian hari dirinya mampu berkenalan dengan Chairil Anwar. Chairil kala itu hanyalah penyair kere dengan penghasilan tak menentu. Namun rasa cinta Mirat mengabaikan segala kemiskinan dan cibiran orang yang mengatakan masa depan Chairil suram. Mereka menjadi sepasang kekasih selang berapa lama kemudian, seperti tinta dan canvas, seperti kata dan kertas.
Advertisement
Kehidupan mereka tampak indah dan serasi dengan lukisan Mirat yang menemani Chairil, pun puisi Chairil bersama lukisan Mirat. Namun bukanlah hidup jika tidak memberi masalah. Mirat diminta pulang kampung ke Madiun oleh orang tuanya. Chairil berjanji untuk menyusul dan segera melamar Mirat.
Namun jurang si kaya dan si miskin menjadi halangan bagi Chairil untuk bisa bersama dengan Mirat. Hanya lembaran puisi yang mampu ia bawa untuk menemui orang tua sang kekasih. Lamaran itu pun berakhir dengan jawaban, "carilah dulu pekerjaan yang tetap baru nanti kita bicarakan lagi", oleh orang tua Mirat.
Dalam salah satu sajaknya berjudul Sajak Putih-buat tunanganku Mirat, Chairil menuliskan:
...Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
kucuplah aku terus, kucuplah
dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku
Selang berapa lama setelah Chairil pergi kembali ke Jakarta dengan membawa sakit hati karena penolakan orang tua Mirat, pendudukan Jepang berkobar dan kekacauan meluas. Mereka tak mampu lagi saling berkomunikasi hingga kabar pernikahan Chairil mendatangi Mirat pada tahun1946. Kesedihan semakin bertambah 3 tahun kemudian, tepatnya pada 28 April 1949, Chairil Anwar meninggal dunia pada usia 27 tahun. Chairil masih sempat menuliskan puisi untuk Mirat berjudul Mirat Muda, Chairil Muda, bait terakhir puisi tersebut berisi :
Dianya pada Chairil makin sehati,
Hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan chairil dengan deras
Menuntut tinggi tidak setapak berjarak dengan mati