Liputan6.com, Jakarta- Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor Indonesia pada Mei 2015 mencapai US$ 12,56 miliar, turun 4,11 persen dibanding ekspor April 2015. Demikian juga bila dibanding Mei 2014 susut 15,24 persen.
Secara kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari-Mei 2015 mencapai US$ 64,72 miliar atau menurun 11,84 persen dibanding periode yang sama di 2014. Demikian juga ekspor nonmigas mencapai US$ 56,19 miliar atau menurun 7,15 persen.
Advertisement
"Ekspor nonmigas Mei 2015 mencapai US$ 11,19 miliar, turun 3,87 persen dibanding April 2015, demikian juga bila dibanding ekspor Mei 2014 turun 10,07 persen," ujar Kepala BPS Suryamin, Senin (15/6/2015).
Penurunan terbesar ekspor nonmigas Mei 2015 terhadap April 2015 terjadi pada lemak dan minyak hewan/nabati sebesar US$ 323,8 juta (17,54 persen). Sedangkan peningkatan terbesar terjadi pada bijih, kerak, dan abu logam sebesar US$ 408,6 juta (410,84 persen).
Ekspor nonmigas ke Amerika Serikat Mei 2015 mencapai angka terbesar yaitu US$ 1,28 miliar, disusul India US$ 1,15 miliar dan Jepang US$ 1,14 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 31,94 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (27 negara) sebesar US$ 1,31 miliar.
Menurut sektor, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan periode Januari-Mei 2015 turun sebesar 6,74 persen dibanding periode yang sama tahun 2014, dan ekspor hasil tambang dan lainnya turun 11,18 persen, sementara ekspor hasil pertanian naik sebesar 1,58 persen.
Menurut provinsi asal barang, ekspor Indonesia terbesar pada periode Januari-Mei 2015 berasal dari JawaBaratdengan nilai US$ 10,63 miliar (16,43 persen), diikuti Kalimantan Timur sebesar US$ 8,30 miliar (12,82 persen) dan Jawa Timur sebesar U$ 7,66 miliar (11,84 persen).
Nilai impor Indonesia Mei 2015 mencapai US$ 11,61 miliar atau turun 8,05 persen dibanding April 2015. Demikian pula jika dibanding Mei 2014 turun 21,40 persen.
Impor nonmigas Mei 2015 mencapai US$ 9,53 miliar atau turun 7,39 persen dibanding April 2015, dan turun 13,87 persen dibanding Mei 2014. Impor migas Mei 2015 mencapai US$ 2,08 miliar atau turun 10,95 persen dibanding April 2015, demikian pula dibanding Mei 2014 turun 43,87 persen.
Secara kumulatif nilai impor Januari–Mei 2015 mencapai US$ 60,97 miliar atau turun 17,90 persen dibanding periode yang sama tahun 2014. Kumulatif nilai impor terdiri dari impor migas US$ 10,52 miliar (turun 42,83 persen) dan nonmigas US$ 50,45 miliar (turun 9,68 persen).
Peningkatan impor nonmigas terbesar Mei 2015 adalah golongan kapal laut dan bangunan terapung US$ 0,34 miliar (1.340,48 persen), sedangkan penurunan terbesar adalah golongan mesin dan peralatan mekanik US$ 0,31 miliar (16,53 persen).
Perolehan ini sesuai dengan prediksi,Neraca perdagangan Indonesia diprediksi akan mencatatkan defisit pada Mei 2015 setelah empat bulan berturut-turut mengecap surplus. Penyebabnya, impor bahan baku terdorong naik dalam rangka antisipasi jelang puasa dan lebaran.
Director of Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), Enny Sri Hartati memprediksi defisit neraca perdagangan di bulan kelima ini di bawah US$ 1 miliar.
"Saya rasa ada defisit di Mei ini tapi kisarannya US$ 500 juta, nggak akan sampai US$ 1 miliar," ungkap dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta.
Lebih jauh dijelaskan Enny, defisit berasal dari nilai impor yang jauh lebih tinggi dibanding ekspor. Hal ini terlihat dari peningkatan permintaan dolar AS untuk membiayai impor Indonesia menjelang puasa dan lebaran.
"Sudah ada antisipasi kebutuhan puasa dan lebaran, seperti impor bahan baku untuk memproduksi barang jadi karena ada peningkatan permintaan dalam negeri. Sementara impor bahan pangan masih terbatas," terang dia.
Sedangkan dari sisi kinerja ekspor, diakui Enny masih terkontraksi. Ekspor belum mampu menopang neraca perdagangan Indonesia karena ekonomi dunia masih lesu.
Berbeda, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memprediksi neraca perdagangan Indonesia Mei ini justru akan kembali mendulang surplus. Namun dia belum menghitung besaran surplus tersebut.
"Pokoknya masih surplus. Surplusnya mengecil atau membesar, saya belum tahu," ujarnya.
Menurut dia, surplus disumbang dari penurunan impor yang tidak selamanya dianggap sebuah kelesuan ekonomi. Apalagi pembangunan infrastruktur, sambungnya, tidak melulu dengan keharusan meningkatkan impor.
"Kan ada juga impor migas turun karena harga dan volume. Jadi harus dilihat dari aspek kita memperbaiki neraca perdagangan. Harga baja saja sudah turun," pungkas Bambang. (Fik/Nrm)