Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mengkhawatirkan terjadinya perang mata uang (currency war) selama tiga tahun ke depan akibat rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS)/The Fed yang memicu penguatan dolar AS. Sebenarnya bagaimana kesiapan Indonesia menghadapi perang mata uang ini?
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, mengungkapkan fungsi uang saat ini telah bergeser dari alat pembayaran menjadi sebuah komoditas. Bukan untuk mengukur kemampuan nilai produksi lagi, melainkan kekuatan politik dan perdagangan.
Advertisement
"Karena persaingan ketat di saat pelemahan ekonomi global, orang berlomba-lomba memenangkan dan meraih pangsa pasar. Salah satunya dengan sengaja melemahkan nilai tukar mata uangnya supaya harga produk kompetitif," jelas dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Selasa (16/6/2015).
Enny mencontohkan negara yang sukses memacu ekspornya melalui strategi perang mata uang atau pelemahan kurs, yakni Jepang dan Tiongkok.
Dia mengatakan, Negeri Sakura ini sengaja mendepresiasi nilai mata uang Yen sehingga mampu mendulang peningkatan ekspor. Sementara Tiongkok melemahkan kurs Yuan 40 persen dan kinerja ekspornya melesat tajam sampai 100 persen.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dia menilai, Indonesia sulit menerapkan strategi perang mata uang untuk memenangkan persaingan. Alasannya, menurut Enny, negara ini mempunyai ketergantungan sangat tinggi terhadap impor dan ekspor komoditas.
"Jadi kalau mata uang rupiah terdepresiasi akan memberi beban ke neraca perdagangan. Kita juga masih mengandalkan ekspor komoditas, sehingga tidak akan pernah bisa mengambil keuntungan dari pelemahan mata uang rupiah," ujar Enny.
Enny menyarankan, Indonesia harus segera mengubah struktur ekspor dari komoditas menuju produk-produk olahan. Lanjutnya, Indonesia mesti belajar dari India yang berhasil melakukan diversifikasi ekspor dari komoditas mentah beralih ke produk jadi.
"Lihat saja produk atau barang jadi dari India membanjiri pasar Timur Tengah dan Eropa. Jadi kita harus bergerak cepat memacu industri hilirisasi dan segera mencari substitusi impor supaya mengurangi ketergantungan. Dan setiap terjadi depresiasi rupiah, kita tetap untung bukannya buntung," tegas Enny.
Sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, tren depresiasi rupiah saat ini sejalan dengan pelemahan nilai tukar mata uang negara lain. Kata Sofyan, kondisi ini disebabkan karena faktor global yang tidak mampu diredam pemerintah.
"Yang jelas kita perbaiki terus kondisi internal, Bank Indonesia (BI) menjaga agar depresiasi tidak berlebihan karena kurs rupiah yang mencerminkan fundamental ekonomi negara itu baik, tapi jangan sampai terus melemah. Kan masih ada negara lain yang depresiasi mata uangnya lebih parah dari kita," papar Sofyan. (Fik/Ahm)