Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Pelaksana Konstruksi Indonesia (Gapensi) tetap mendukung izin impor barang modal bekas terutama produk alat berat. Kebijakan ini dinilai memperkuat daya saing usaha konstruksi dan memacu percepatan pembangunan infrastruktur.
"Gapensi dalam posisi tetap mendukung, sebab investasi di peralatan berat ini sangat berat," ujar Sekjen Gapensi H.Andi Rukman Karumpa di Jakarta, Selasa (16/6/2015).
Advertisement
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan menyatakan memberi lampu hijau atas peninjauan kembali kebijakan izin impor barang modal bukan baru khususnya produk alat berat yang dinilai telah merugikan produsen dalam negeri.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel meminta Kementerian Perindustrian mengajukan keterangan tertulis terkait dengan efek negatif kebijakan[ impor](2252523/ "") barang modal.
Sebagaimana diketahui ketentuan impor barang modal bukan baru tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.75/MDAg/PER/12/2013 dan diteken oleh Gita Irawan Wirjawan, menteri perdagangan sebelumnya.
Andi mengatakan, investasi alat berat untuk mengembangkan sektor konstruksi di Indonesia memerlukan dukungan berbagai pihak agar dapat memenuhi keberlanjutan bisnis penyewaan alat berat di Tanah Air.
Salah satunya bagaimana menegakkan investasi yang cukup berat di peralatan alat berat. Terlebih lagi, kata Andi, sebanyak hampir 99 persen komposisi kontraktor nasional merupakan klasifikasi UKM konstruksi yang selalu mengalami kesulitan berinvestasi di alat berat.
Lemahnya daya saing UKM Konstruksi ini membuat pangsa pasar konstruksi nasional sebagian besar dikuasai oleh usaha konstruksi klasifikasi besar.
Andi mengatakan pasar konstruksi nasional masih dikuasai oleh kontraktor besar sehingga dibutuhkan kebijakan untuk menyehatkan persaingan.
"Sebanyak 85 persen nilai pasar konstruksi dikuasai oleh kontraktor besar dengan jumlah lima persen dari total 160.000 badan usaha," kata Andi.
Sedangkan sisanya sebesar 15 persen nilai pasar konstruksi diperebutkan oleh UKM konstruksi dengan jumlah 95 persen dari sekitar 160 ribu badan usaha yang ada.
Ia berpendapat, kondisi tersebut mengakibatkan persaingan usaha di pasar konstruksi skala kecil dan menengah menjadi tidak sehat dan terdistorsi sehingga membuka peluang bagi pengguna jasa yang beritikad kurang baik.
Itikad tersebut dimaksudkan untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya melalui kontrak konstruksi yang tidak adil dan tidak seimbang yang hanya menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lain.(Yas/Ahm)