Liputan6.com, Jakarta Kasus Angeline telah mengejutkan banyak orang. Bocah kecil yang tewas secara menyedihkan ini. Meskipun belum ditemukan bukti yang memadai, ada dugaan bahwa pelakunya justru adalah orang-orang dekatnya (Ayuningtyas, n.d.). Jika dugaan ini memang benar, sungguh merupakan sesuatu yang ironis. Orang-orang dekat yang semestinya merawat dan melindungi anak justru malah menjadi pelaku tindak pengabaian dan kekerasan pada anak.
Meskipun merupakan sesutu yang ironis, yang lebih memprihatinkan adalah bahwa kasus kekerasan pada anak bagaikan fenomena gunung es. Kasus-kasus kekerasan pada anak terjadi di hampir semua area kehidupannya. Mulai dari area rumah dan keluarga, sekolah, hingga area kehidupan masyarakat secara umum. Saat anak mengalami kekerasan, akan timbul berbagai dampak negatif dalam kehidupannya. Mulai dari stres, trauma, penurunan prestasi, penderitaan fisik, hingga kematian.
Advertisement
Kekerasan pada anak memang menjadi lebih mudah terjadi karena posisi anak yang relatif lemah. Posisi ini mengakibatkan anak sering tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk membela diri atau untuk meminta bantuan dari orang lain di sekitarnya saat dia mengalami kekerasan. Akibatnya, kekerasan bisa dialami oleh anak dalam waktu yang lama tanpa ada orang lain seperti tetangga, guru, bahkan orang-orang di dekat di keluarganya yang mengetahuinya.
Potensi yang mendorong pengabaian anak
Jika kita lihat lebih jauh, ada beberapa hal yang sebenarnya berpotensi mendorong terjadinya pengabaian dan kekerasan pada anak dalam kehidupan sehari-hari:
- Pengasuhan yang tidak berpusat pada anak
Pengasuhan anak dalam keluarga semestinya berfokus pada anak. Tujuannya adalah optimalisasi tumbuh kembang anak. Akan tetapi, seringkali ditemukan bahwa pengasuhan pada anak bukan berfokus pada kepentingan anak. Orangtua atau orang dewasa lain secara sadar atau tidak sadar dalam pengasuhan anak seringkali lebih berpusat pada kepentingannya sendiri. Anak hanya menjadi sarana tercapainya kepentingan orangtua dan orang dewasa di rumah. Anak yang digunakan untuk menaikkan status ekonomi dan sosial dalam keluarga sehingga merampas haknya untuk mendapatkan waktu bermain dan belajar merupakan contoh pengasuhan yang tidak berpusat pada anak. Anak yang dipaksa mempelajari sesuatu yang belum waktunya apalagi dalam jumlah yang banyak dengan target capaian yang tidak memperhatikan bakat anak juga merupakan contoh pengasuhan yang tidak berpusat pada anak. Pengasuhan yang tidak berpusat pada anak rentan dengan pengabaian dan kekerasan. Hal ini karena anak hanyalah alat belaka yang digunakan orangtua untuk mencapai kepentingannya. Oleh karenanya, perlakuan pada anak sangat tergantung pada bisa tidaknya sang anak memenuhi tujuan orangtua. Kegagalan anak memenuhi keinginan orangtua sangat sering berujungan pada tindakan negatif dari orangtuanya. Contoh kasus yang abru saja terjadi adalah seorang anak yang pergi dari rumha karena disiksa oleh orangtuanya akibat nilai rapor yang buruk (“Disiksa Orangtua karena Rapor Jelek, Bocah SD Minggat dari Rumah,” n.d.)
Advertisement
Pendidikan tak berpusat pada anak
- Pendidikan yang tidak berpusat pada anak
Selain di rumah, pendidikan juga dapat dibuat dengan tidak berpusat pada kepentingan anak. Hal ini bisa terjadi selain karena memang “pesanan” dari orangtua sendiri, juga karena sekolah acapkali memiliki kepentingan sendiri. Misalnya supaya menjadi sekolah yang favorit karena murid-muridnya berprestasi secara akademis. Keinginan ini sebenarnya tidaklah keliru. Akan tetapi, jika dilakukan tanpa melihat kondisi masing-masing anak didiknya, hal ini tidaklah dapat dibenarkan. Kekerasan karena alasan ketidakmampuan anak meraih capaian akademis tertentu terjadi di sebuah sekolah daerah Binjai beberapa waktu yang lalu. Karena tidak mampu mencapai target tertentu dalam menghapal, 9 murid kelas 6 SD mengaku mendapatkan kekerasan dari gurunya (“Sembilan Murid SD Disiksa Guru,” n.d.).
- Pengabaian oleh masyarakat
Kekerasan yang dialami anak juga dapat terjadi akibat akibat pengabaian masyarakat terhadap anak. Orang di sekitar anak tinggal seringkali tidak berbuat apa pun meski melihat ada anak yang mengalami kekerasan dari orang dewasa di rumahnya. Sikap ini didorong oleh dua alasan. Yang pertama, yang terjadi pada banyak masyarakat tradisional yakni adanya perspektif bahwa urusan keluarga adalah urusan privat dalam keluarga tersebut. Orang di luar keluarga harus menghormatinya dan tidak berhak mencampurinya. Berdasarkan pandangan ini, meskipun melihat adanya kekerasan dan semacamnya terjadi pada sebuah keluarga, para tetangga cenderung segan untuk ikut campur di dalamnya. Selain alasan tersebut, alasan kedua yang terjadi pada banyak masyarakat modern adalah berkembangnya sikap individualis. Seperti halnya pada masyarakat tradisional, masyarakat modern juga cenderung tidak mencampuri urusan rumah tangga keluarga lainnya meskipun dengan alasan yang berbeda. Alasan yang mendasari masyarakat modern tidak mencampuri urusan keluarga lain adalah adanya kecenderungan individualis. Kecenderungan ini membuat masyarakat modern semakin tidak mau direpotkan dan tidak peduli akan urusan satu sama lain termasuk ketika melihat adanya kekerasan di sekitar rumah tinggalnya.
Kekerasan bagian dari mendidik anak
- Anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari mendidik anak
Kekerasan pada anak juga dapat timbul karena adanya anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari pendidikan anak. Hal ini bisa terjadi di keluarga, lembaga pendidikan, maupun konteks masyarakat secara umum. Jika dilihat lebih jauh, mendidik lewat kekerasan merupakan cara mendidik lewat mengancam dan menakut-nakuti anak. Hal ini dilakukan biasanya dengan tujuan agar anak mengikuti apa yang diinginkan. Pendidikan lewat sarana kekerasan ini dalam jangka pendek memang dapat segera terlihat hasilnya. Anak akan menunjukkan sikap dan melakukan sesuatu sesuai dengan yang diharapkan. Akan tetapi, sikap dan perilaku semacam ini tidak akan terinternalisasi secara baik dalam diri anak. Anak hanya melakukan sesuatu karena ketakutan akan ancaman bukan karena menganggap itu baik.
- Pengabaian oleh negara
Negara didirikan untuk membantu mengatur tata kehidupan warganya. Negara harus melindungi warganya yang terancam oleh tindak kekerasan. Banyak kekerasan yang terjadi pada anak dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat namun belum mendapatkan perhatian yang memadai. Perhatian baru muncul setelah menjadi berita yang membuat heboh khalayak ramai. Negara perlu memastikan bahwa pengasuhan berfokus pada anak. Lewat mekanisme hak asuh, negara perlu memastikan bahwa anak mendapat pengasuhan yang memang berpusat padanya. Dalam kasus-kasus ekstrim, negara bahkan perlu mempertimbangkan kembali hak asuh orangtua meskipun orangtua asuh jika memang pengasuhan yang dilakukan mengancam dan membahayakan kehidupan anak. Demikian pula di lembaga pendidikan. Negara perlu memastikan bahwa anak mendapatkan pendidikan yang berpusat padanya. Negara perlu mengatur agar sekolah-sekolah tidak menjadi lembaga persaingan tidak sehat yang pada akhirnya hanya mengorbankan anak-anak didiknya.
Semoga orangtua, masyarakat, lembaga pendidikan, dan juga negara terus berbenah diri untuk memperbaiki perlakuan, pengasuhan, dan pendidikan terhadap anak-anak. Hal ini menjadi penting mengingat merekalah yang akan meneruskan tongkat estafet kehidupan sebagai orangtua, pendidik, dan warga negara di masa yang akan datang.
Yohanes Heri Widodo, M.Psi, Psikolog
Dosen Universitas Sanata Dharma
Pemilik Taman Bermain dan Belajar Kerang Mutiara
Referensi
Ayuningtyas, R. (n.d.). Angeline, Kamu (Dulu) Ditelantarkan? Retrieved June 14, 2015, from http://news.liputan6.com/read/2251799/angeline-kamu-dulu-ditelantarkan
Disiksa Orangtua karena Rapor Jelek, Bocah SD Minggat dari Rumah. (n.d.). Retrieved June 15, 2015, from http://regional.kompas.com/read/2015/06/12/12013451/Disiksa.Orangtua.karena.Rapor.Jelek.Bocah.SD.Minggat.dari.Rumah
Sembilan Murid SD Disiksa Guru. (n.d.). Retrieved June 15, 2015, from http://www.riaupos.co/2884-berita-sembilan-murid-sd-disiksa-guru-.html
Advertisement