Sulit Memberitahu Kelompok Antivaksin yang Ngeyel

Ada yang bisa ditolong dengan cara pendekatan, ada juga kelompok antivaksin yang tak cukup dijelaskan dengan bukti-bukti ilmiah.

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 17 Jun 2015, 11:44 WIB
Ada yang bisa ditolong dengan cara pendekatan, ada juga kelompok antivaksin yang tak cukup dijelaskan dengan bukti-bukti ilmiah.

Liputan6.com, Jakarta - Kelompok masyarakat antivaksin di Indonesia berbeda-beda. Ada yang bisa ditolong dengan cara pendekatan, ada juga kelompok antivaksin yang tak cukup dijelaskan dengan bukti-bukti ilmiah.

Ya, meski sejumlah bukti ilmiah memaparkan vaksinasi merupakan langkah sederhana mencegah terjadinya sejumlah penyakit pada anak, tetap saja masih ada orangtua yang beranggapan vaksinasi hanya isapan jempol belaka.

"Kalau di pedesaan, biasanya alasan menolak vaksinasi karena nggak ngerti saja. Misalnya, nggak mau divaksin karena bakal demam sesudahnya," kata Spesialis Jantung Anak Konsultan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) yang berpendapat kelompok satu ini lebih mudah diatasi karena masalahnya hanya salah paham dan kurangnya komunikasi.

"Nanti, setelah didekati dengan tokoh masyarakat dan diberi pemahaman, InshaAllah akan paham lagi," kata dia menambahkan.

Yang sulit, jelas Piprim, adalah masyarakat yang menambahkan muatan ideologi di belakangnya. "Misalnya saya nggak mau divaksin karena vaksin programnya Yahudi. Mau dikasih tahu kayak bagaimana juga, tetap saja dia akan berpikir kalau vaksin itu mengandung babi," kata Piprim di Hotel Gran Melia, Mega Kuningan, Jakarta, Selasa (16/6/2015)

Lebih lanjut, dari 14 vaksin yang ada, paling hanya 2 atau 3 vaksin yang menggunakan enzim babi dalam proses pembuatannya. Tapi, setelah produk akhirnya jadi, enzim babi itu tidak digunakan lagi. Lagi pula, proses yang dilakukan berulang kali, sehingga produk akhirnya tidak lagi mengandung babi. Maka itu vaksin menjadi halal.

"Sebagai contoh anggur. Anggur dalam bentuk buah masih baik, namun ketika menjadi wine hukumnya haram. Tapi, ketika wine itu difermentasi jadi cuka, berubah halal lagi. Namanya itu hukum pengenceran berulang," kata Piprim menjelaskan. 


Enzim babi

Enzim babi dalam pembuatan vaksin

Kebanyakan mengira, proses pembuatan vaksin seperti membuat puyer. "Bahan-bahan yang ada dicampur jadi satu, termasuk yang mengandung babi, lalu kemudian digerus jadi vaksin," kata dia menambahkan.

Menurut Piprim, ini persepsi yang keliru. Proses membuat vaksin di era modern tidak demikian halnya. "Bila prosesnya demikian, sudah tentu hukum vaksin menjadi haram," kata Piprim menekankan.

Sebenarnya, proses pembuatan vaksin di era modern sangat kompleks, dengan beberapa tahapan. Yang jelas tidak ada proses seperti menggerus puyer.

"Enzim tripsin babi digunakan sebagai katalisator untuk memecah protein menjadi peptida dan asam amino, yang menjadi bahan makanan kuman," kata Piprim.

Kuman tersebut, usai dibiakkan kemudian difermentasi dan diambil polisakarida di dinding sel sebagai antigen, bahan pembentuk vaksin.

Selanjutnya, proses purifikasi (pemurnian) dan ultrafiltrasi dilakukan hingga keenceran 1/67,5 miliar kali dan terbentuk vaksin. "Pada hasil akhir proses, tidak terdapat sama sekali bahan-bahan yang mengandung enzim babi. Bahkan, antigen vaksin sama sekali tidak bersinggungan dengan enzim babi, baik secara langsung maupun tidak," kata dia menerangkan.

Lebih lanjut Piprim menekankan, isu yang menyebut vaksin mengandung babi menjadi sangat tidak relevan, karena tahapan proses pembuatan vaksin tidak seperti yang dibayangkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya