Liputan6.com, Jakarta PERINGATAN: SPOILER ALERT! Ulasan ini mengandung bocoran isi cerita film Minions.
Saat karakter makhluk-makhluk cebol berkulit kuning seperti pisang dikatakan bakal punya film sendiri alias spin-off, rasanya seperti sesuatu yang sudah ditakdirkan dari sananya. Sebab, minion adalah karakter favorit penonton di franchise Despicable Me.
Advertisement
Ya, meski kisah Gru sang “despicable” alias si penjahat keji, penuh pesan moral bagi anak-anak, tapi yang membuat penonton tertawa adalah polah para minion. Siapa yang tak tertawa saat minion menyanyi lagu “I Swear” milik All 4 One dengan gaya mereka?
Maka, sebetulnya tak ada alasan bagi Universal Pictures untuk menolak memfilmkan minion. Karakternya sudah punya jutaan penggemar di seluruh dunia. Tapi kemudian pertanyaannya, mudahkah memfilmkan para minion?
Sesuai sifatnya, minion tak mengandalkan dialog dalam membangun kisah. Mereka bicara bahasa yang tak dimengerti manusia macam “papoy”, atau kalaupun kita mengerti seperti “banana” atau “papaya”, tetap tak kita mengerti betul susunan gramatikalnya.
Yang diandalkan karakter minion adalah tingkah mereka. Dengan bahasa yang tak bisa dimengerti oleh manusia, toh kita mengerti isi pesan yang disampaikan minion. Kita pun tertawa dibuatnya.
Di dua film Despicable Me, minion menjadi karakter pendamping alias punakawan yang jadi pengundang tawa, berada di samping dari cerita utama. Sekarang, yang tadinya sebagai pendamping jadi tokoh utama cerita.
Inilah tantangan utama sutradara Pierre Coffin dan Kyle Balda.
Di Minions, sepanjang satu setengah jam durasi film, para minion-lah yang menjadi fokus cerita.
Ceritanya dimulai saat sang waktu juga baru dimulai. Manusia belum menghuni Bumi. Di awal film kita diajak mengenal proses evolusi makhluk minion dari jentik di dasar samudera sejak zaman pra sejarah.
Minion lahir dengan satu insting: mengabdi pada sang tuan nan perkasa. Perkasa di sini bisa berarti banyak hal. Ia bisa berarti makhluk hidup yang buas seperti dinosaurus T-rex, ataupun manusia gua. Bisa juga penguasa seperti raja zaman Mesir kuno hingga Napoleon.
Pada akhirnya, ada satu masa para minion tak kunjung menemukan sang tuan tempat mereka bergantung sebagai pelayan. Hal itu membuat hidup mereka tak bergairah.
Syahdan, ada seorang minion bernama Kevin punya inisiatif mencarikan tuan baru bagi mereka. Bersama dua minion lain, Stuart dan Bob, mereka mengarungi tanah bersalju dan menyeberangi samudera mencari sang tuan.
Dalam petualangannya, tiga minion itu terdampar ke New York di tahun 1968. Dari New York, mereka ke Orlando, mengunjungi konferensi para penjahat—semacam event ComiCon di San Diego tapi yang ini ditujukan bagi kaum kriminal.
Di konferensi itu mereka bertemu Scarlett Overkill (suaranya diisi Sandra Bullock), ratu penjahat. Kevin, Bob, dan Stuart lalu mengabdi pada Scarlett yang punya misi utama mencuri mahkota Ratu Inggris.
Dengan plot cerita seperti di atas, Pierre Coffin dan Kyle Balda berhasil memenuhi tantangan mengajukan minion sebagai tokoh utama.
Minions sejatinya film yang mengandalkan bahasa gambar seperti defenisi film sebagai gambar bergerak. Kelucuan dibangun bukan atas dialog. Coffin dan Balda menyuguhkan tontonan yang mengandalkan bahasa gambar. Setiap polah minion berhasil mengundang kita tertawa. Hampir setiap momen di filmnya mengocok perut kita.
Nah, lantaran fokus pada polah lucu para makhluk kuning nan mini, di sini kemudian Minions terasa kekurangan pesan moral sebagai film animasi yang disuguhkan bagi bocah. Di franchise Despicable Me pesan moralnya adalah mengubah perilaku jahat menjadi baik. Minions lebih terasa sebagai spin-off atau cerita samping (side-story) biasa dari kisah yang sudah kita akrabi. Ia juga pas bila disebut sebuah prekuel atau cerita sebelum film Despicable Me.
Maka, sineasnya memang tak perlu repot-repot memberi kita pesan moral. Ia sudah menunaikan tugasnya dengan baik. Untuk itu kita patut berterima kasih. Ya, seperti minion yang bilang “terima kasih” di ujung film.** (Ade/Rul)