Liputan6.com, Jakarta Para pemikir barat seperti Aristoteles sampai William James sependapat bahwa tujuan keberadaan manusia adalah untuk meraih kebahagiaan. Sayang, tak semua orang bisa meraihnya dengan mudah bahkan cenderung keliru mengartikan kebahagiaan pada harta dan benda lahiriah.
Guru spiritual sekaligus Bhiksu dari Tibet Dalai Lama mengaku telah menemukan sebagian dari kebahagiaan pribadi yang ingin diraihnya.
Advertisement
Psikiater dari Amerika yang berpraktik di Phoenix, Arizona, Howard C Cutler, M.D. mengatakan, "saya sering menyaksikan bagaimana kebahagiaan pribadi dapat mewujud secara sederhana dalam bentuk kesediaannya (Dalai Lama) menyapa orang lain, menciptakan suatu rasa persahabatan yang akrab, bahkan dalam interaksi yang sangat singkat."
Sesungguhnya, kata Howard, survei demi survei telah menunjukkan bahwa orang-orang tidak bahagialah yang cenderung paling mementingkan diri sendiri, menjauhkan diri dari pergaulan, selalu cemas, bahkan membenci orang lain.
Sebaliknya, orang-orang yang bahagia umumnya lebih mudah bergaul, luwes, kreatif, serta jauh lebih mampu mengatasi kekesalan-kekesalan sehari-hari daripada mereka yang tidak bahagia. Dan yang paling penting, mereka ternyata lebih penyayang dan pemaaf dibanding orang-orang yang tidak bahagia.
Menurut Howard, para peneliti bahkan telah menggunakan beberapa eksperimen menarik untuk menunjukkan bahwa orang-orang bahagia memperlihatkan kualitas-kualitas tertentu seperti keterbukaan dan kesediaan mengulurkan tangan membantu orang lain. Sebagai contoh, para peneliti ini mengusahakan sebuah situasi yang membahagiakan pada seorang subjek uji dengan mengatur agar orang itu secara tidak disangka-sangka menemukan uang di kamar bicara telepon umum.
Lalu, dengan menyamar sebagai orang asing, salah satu pelaku eksperimen berjalan dekat orang yang baru menemukan uang dan 'secara tidak sengaja' menjatuhkan tumpukan kertas yang dibawanya. Para peneliti ini ingin tahu apakah orang tadi akan berhenti untuk membantu si malang.
Dalam sebuah skenario lain, semangat hidup beberapa subyek dinaikkan dengan mengajaknya menonton sebuah komedi, kemudian mereka didatangi oleh seseorang yang sedang kesusahan (juga dalam kerjasama dengan para pelaku eksperimen) dengan maksud meminjam uang. Para peneliti menemukan bahwa subjek-subjek yang merasa bahagia lebih mungkin membantu seseorang atau meminjamkan uang daripada 'kelompok kontrol' yang diberi peluang sama untuk menolong tetapi suasana hati mereka sedang mendung.
"Walaupun percobaan-percobaan seperti ini bertentangan dengan pandangan bahwa perolehan dan peraihan kebahagiaan pribadi entah bagaimana mengantar ke sikap mementingkan diri dan keasyikan dengan diri sendiri, kita semua dapat melakukan eksperimen kita sendiri dengan kehidupan sehari-hari sebagai laboratorium,"ujar Howard.
Ambil contoh misalnya, saat sedang terjebak macet. Sesudah dua puluh menit akhirnya semua kendaraan bisa berjalan meski masih merayap. Tiba-tiba Anda melihat seseorang di belakang memberi tanda bahwa ia ingin mendahului kita. Bila suasana hati sedang cerah, kita lebih mungkin memperlambat kendaraan dan membalas dengan isyarat bahwa orang itu boleh mendahului. Namun, kalau sedang sedih dan kesal, bisa jadi justru menambah laju kendaraan dan tidak memberi jalan pada orang tadi. "Sudah sekian lama terjebak dalam macet, mengapa aku harus mengalah?"
Howard menyebutkan, visi tentang kebahagiaan merupakan objek nyata, sesuatu yang dapat diraih dengan langkah-langkah positif. "Dengan mulai mengenali faktor-faktor yang mengantar ke hidup yang bahagia, kita akan belajar tentang bagaimana bahagia itu tidak hanya bermanfaat bagi kita secara perorangan, tetapi juga bagi keluarga dan siapa pun di sekitar kita."ujar Howard.