Liputan6.com, Jakarta - Pembatalan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Sumber Daya Air (SDA) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai berpotensi mematikan industri di dalam negeri, khususnya industri minuman.
Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM), Triyono Prijosoesilo mengatakan, jika industri-industri minuman sampai gulung tikar, maka akan membawa dampak pada sektor lain seperti lapangan kerja dan investasi.
Advertisement
"Kalau kita lihat, kita khawatir akan kelanjutan dan kelangsungan hidup usaha minuman ringan. Industir yang sudah ada butuh kepastian hukum. Bagaimana nasib industri yang jalan lama, sudah banyak berinvestasi, dan pekerjakan banyak orang," ujar Triyono di kantor APINDO, Jakarta, Kamis (18/6/2015).
Sementara itu, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang SDA dan RPP tentang Penyediaan Air Minum terlalu memiliki aroma nasionalisasi yang sempit. Lantaran, perusahaan minuman yang melibatkan modal asing tidak akan mendapatkan izin untuk memanfaatkan.
"RPP ini mengarah kepada nasionalisasi, tapi nasionalisasi yang sempit. Kalau kita lihat, perusahaan air minum mau tidak mau ada modal asing dan swasta. Sementara itu, saat ini pemerintah tengah mendorong investasi untuk masuk. Harusnya ada perlakuan yang setara dan wajar antara swasta dan asing," kata dia.
Triyono menilai, setelah pembatalan UU tersebut, saat ini industri hanya berpegang pada surat edaran (SE) dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian ESDM dalam memanfaatkan air guna menjalankan usahanya.
SE tersebut dinilai bukan landasan hukum yang kuat sehingga bukan tidak mungkin suatu perusahaan yang memanfaatkan air terjerat pelanggaran hukum karena tidak ada kepastian hukum.
"Sekarang industri berjalan apa adanya, hanya ada SE yang terkait perizinan dalam menggunakan air tanah dan air permukaan. Tapi pembatalan ini menimbulkan keragu-raguan di tingkat Pemda, akhirnya mereka menahan industri yang mengajukan perpanjangan usaha," ujar Triyono. (Dny/Ahm)