Mendagri: Saya Bisa Tolak Kepala Daerah yang Mundur Tanpa Alasan

Sebanyak 4 kepala daerah telah mengundurkan diri. Hal itu diduga dilakukan agar anggota keluarga lainnya bisa ikut pilkada.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 19 Jun 2015, 01:00 WIB
Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo. (Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Sebanyak 4 kepala daerah telah mengundurkan diri. Pengunduran diri mereka diduga dilakukan agar anggota keluarga lainnya bisa ikut pilkada. Namun, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan dirinya bisa menolak pengunduran diri tersebut.

"Oh bisa (menolak), apalagi DPRD tidak setuju, apa boleh buat," kata Tjahjo di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (18/6/2015).

Tjahjo menuturkan, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa bila DPRD menyetujui pengunduran diri tersebut meski langkah itu menyalahi etika berpolitik.

Saat terpilih, maka kepala daerah‎ itu memiliki kontrak kerja melayani masyarakat selama 5 tahun. Namun, bila mundur di tengah jalan tidak ada sanksi tegas yang diberikan.

"‎Kalau secara etika politik, dia kontrak politiknya di pilkada kan 5 tahun. Kecuali dia berhalangan tetap. Ini tidak berhalangan tetap, tapi dia punya maksud tertentu, kan enggak baik mengorbankan tata pemerintahan. Memang tidak ada sanksi," tutur dia.

Tjahjo menjelaskan pihaknya telah meminta alasan dari para kepala daerah yang tiba-tiba mengundurkan diri itu. Hanya saja tidak ada yang memberi alasan dengan jelas. Salah satunya adalah Bupati Kutai Timur Isran Noor.

"‎Contoh di Kutai Timur, Pak Isran Noor itu, dia tidak ada alasan. Pokoknya dia bilang saya mundur saja. Nah kalau dia sakit, kalau dia ada masalah hukum, dia tidak mampu bekerja, ya apa boleh buat‎," papar Tjahjo.

Ada 4 kepala daerah yang mengundurkan diri, yakni Walikota Pekalongan Basyir Ahmad, Bupati Ogan Ilir Mawardi Yahya, Bupati Kutai Timur Isran Noor, dan Wakil Walikota Sibolga Marudut Situmorang.

Mereka harus mundur karena Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menyebutkan, calon kepala/wakil kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Dalam penjelasan pasal itu disebutkan, konflik kepentingan itu berarti petahana berhubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu. Kecuali, telah melewati jeda satu kali masa jabatan. (Ado/Ali)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya