ICW Pertanyakan Rencana Menkumham Merevisi UU KPK

ICW mengapresiasi sikap dan langkah yang diambil Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang telah menolak rencana pembahasan revisi UU KPK.

oleh FX. Richo Pramono diperbarui 21 Jun 2015, 15:43 WIB
Yasonna Hamonangan Laoly (Liputan6.com/Andrian Martinus Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan maksud dan tujuan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) atas rencana merevisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rencana revisi tersebut dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015.

"Sekarang apa tujuan Undang-undang KPK direvisi? Yasona Laoly belum pernah menjelaskan itu. Kita bahkan belum pernah lihat naskah akademik dan draft-nya seperti apa," ujar Lalola Easter, salah satu peneliti hukum ICW di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Minggu (21/6/2015).

Meski demikian, ICW mengapresiasi sikap dan langkah yang diambil Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang telah menolak rencana pembahasan revisi UU KPK.

ICW menekankan bahwa langkah atau keputusan yang diambil Jokowi bukanlah pernyataan pribadi, melainkan pernyataan sebagai presiden yang harus dipatuhi oleh jajaran atau kabinetnya.

"Kami apresiasi Jokowi tolak itu. Orang-orang di bawahnya harus dipastikan untuk melaksanakan. Jangan sampai tidak sejalan. Jangan sampai revisi membonsai KPK," pungkas Lalola.

Beda Sikap Jokowi dan Menkumham

Penolakan Jokowi atas revisi UU KPK disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki. Dia mengatakan Jokowi secar‎a tegas menolak revisi UU KPK dalam rapat terbatas yang digelar di Kantor Presiden, Jumat 19 Juni lalu.

"‎Presiden katakan tidak ada keinginan untuk melemahkan KPK. Maka dari itu, usulan revisi KPK dengan 5 poin, Presiden menolak. Kami akan bekerja dengan undang-undang yang ad‎a," ujar Ruki di Kantor Presiden.

Sebagai pimpinan KPK, dia cukup lega mendengar pernyataan Presiden. Sebab, polemik tentang revisi UU KPK akan berakhir. KPK pun akan tetap bekerja sesuai dengan undang-undang yang ada. "Itu membuat KPK lega, bebas tidak saling curiga," tutur dia.

Namun, sebelumnya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly dengan tegas mengatakan UU KPK bukanlah sebuah kitab suci yang haram untuk direvisi.

"Jangan kita mengatakan seolah-olah (UU KPK) itu kitab suci," kata Yasonna di Gedung BNN Cawang, Jakarta Timur, Kamis 18 Juni 2015.

Yasonna mencontohkan kasus yang menimpa 2 pimpinan KPK beberapa waktu lalu. Saat itu, Abraham Samad yang menjadi ketua KPK dan Bambang Widjojanto yang menjabat Wakil Ketua KPK ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian.

"Contohnya ada kesalahan yang lalu, pimpinan kolektif kolegial yang 5 itu. Kalau nanti yang 2 bermasalah bagaimana," kata Yasonna.

Yasonna juga menyoroti masalah kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK. Menurutnya, dalam undang-undang tidak ada contoh penyadapan. "Mereka (KPK) sudah punya aturan, ya sudah, buat dalam undang-undang. Jangan di dalam peraturan internal," kata Yasonna. (Ado/Yus)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya