KPU Lempar 'Bola Panas' Maraknya Kepala Daerah Mundur

Ketua KPU Husni Kamil Manik menjelaskan ‎fenomena mundurnya kepala daerah bisa diredam bila pemerintah menolak pengunduran diri tersebut.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 23 Jun 2015, 07:47 WIB
Ketua KPU, Husni Kamil Manik berpidato saat peresmian 'Pemilihan Kepala Daerah Serentak' di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (17/4/2015). Rencananya pilkada serentak di 9 Provinsi dan 260 Kabupaten/Kota pada 9 Desember 2015 (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Terbitnya Surat Edaran Komisi Pemilihan Umum (SEKPU) Nomor 302/KPU/VI/2015 yang mengatur tentang calon petahana dalam Pilkada serentak 2015 menimbulkan polemik. Surat Edaran KPU tersebut mengatur seorang kepala daerah yang mundur dari jabatannya tak lagi disebut petahana atau incumbent.

Ketua KPU Husni Kamil Manik menjelaskan ‎fenomena mundurnya kepala daerah bisa diredam bila pemerintah menolak pengunduran diri tersebut.

"Jadi tergantung pemerintah apakah menerima pengunduran diri atau enggak, bukan rezim pemilu. Itu kewenangan pemerintah," kata Husni, usai buka bersama di rumah dinas Ketua MPR Zulkifli Hasan, di Jakarta, Senin (22/6/2015).

Menurut dia, bila seorang kepala daerah berhenti sehari sebelum pendaftaran, kemudian mendaftarkan diri dalam pilkada, maka dia tidak dikategorikan sebagai calon‎ petahana.

"Pemerintah menjelaskan petahana itu adalah yang existing, sedang menjabat. Walaupun berhenti 25 Juli dan pendaftaran 26 Juli, dia tidak petahana lagi. Anggapannya begitu," jelas Husni.

Sebelumnya, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) yang juga tergabung dalam Koalisi Kawal Pilkada Langsung, Donal Fariz mengatakan KPU sebaiknya menarik kembali surat edaran tersebut. Sebab, aturan tersebut dapat melanggengkan politik dinasti.

"KPU sebaiknya menarik kembali surat edaran yang dikeluarkan tersebut. Surat edaran itu akan membuka keran politik dinasti pada Pilkada 2015 ini," ujar Donal.

Dia menyatakan, dengan tafsir KPU yang menyatakan penyebutan petahana tidak berlaku saat masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran atau mengundurkan diri sebelum masa jabatan, jelas menyalahi kewenangan KPU.

"Ada 22 petahana yang nyata jika menggunakan surat edaran KPU itu. Jelas pada saat ini KPU menafsirkan hal yang baru dari undang-undang yang membatasi polemik politik dinasti. Ini di luar kewenangan KPU," tutur Donal. (Bob/Ans)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya