Liputan6.com, Karachi - Sekitar 700 warga Provinsi Sindh, Pakistan Selatan dilaporkan tewas akibat gelombang panas yang melanda selama 4 hari. Perdana Menteri (PM) Pakistan Nawaz Sharif pun menyerukan langkah-langkah darurat, terkait hal tersebut.
"National Disaster Management Authority (NDMA) atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana setempat sudah menerima perintah pada Selasa 23 Juni dari PM Sharif, agar mengambil tindakan segera guna mengatasi krisis tersebut," kata pihak berwenang seperti diberitakan BBC, Rabu (24/6/2015).
Para tentara dikerahkan untuk mendirikan pusat bantuan terhadap serangan stroke panas, yang terjadi akibat suhu mencapai 45 derajat Celcius. Sedangkan para pejabat dikritik karena tidak melakukan langkah segera untuk mengatasi krisis.
Advertisement
Langkah tersebut diambil setelah Menteri Kesehatan Provinsi Sindh, Saeed Mangnejo mengumumkan 612 orang telah meninggal di rumah sakit yang dikelola pemerintah utama di Karachi selama empat hari terakhir. Dengan 80 lainnya dilaporkan meninggal di rumah sakit swasta.
Sejauh ini, rumah sakit pun kewalahan mengobati lonjakan korban akibat gelombang panas, dan rumah duka kelebihan kapasitas. Selain mendirikan pusat-pusat perawatan darurat di jalan-jalan, pemerintah Provinsi Sindh juga menutup sekolah-sekolah dan kantor-kantor di kota tersebut.
Edhi Foundation, yang menjalankan layanan ambulans dan kamar mayat terbesar Karachi, mengatakan sudah dikumpulkan lebih dari 600 mayat dalam beberapa hari terakhir.
"Yang paling banyak meninggal adalah orang-orang di jalan-jalan -- pecandu heroin, pengemis, tunawisma. Kemudian orang tua, khususnya mereka yang tidak memiliki siapa pun untuk merawat mereka," kata Anwar Kazmi, juru bicara layanan tersebut dikutip dari Telegraph.
Ribuan orang yang dirawat dilaporkan berada dalam kondisi serius.
Kekurangan air dan listrik memperburuk dampak gelombang panas di Provinsi Sindh. Sekitar 20 juta orang yang biasanya memiliki cuaca sejuk dari angin laut, kini harus menghadapi suhu ekstrem hingga 45 derajat Celsius.
Kesehatan warga di sana juga semakin memburuk, karena mereka melaksana puasa Ramadan sekitar 15 jam setiap hari. Mereka yang bekerja di luar ruangan seperti pedagang kaki lima yang paling terkena dampaknya, karena diterpa sinar matahari langsung.
Wartawan BBC di Pakistan, Shahzeb Jillani melaporkan, suhu tinggi sebenarnya bukan hal yang luar biasa di Pakistan. Namun kali ini diperparah dengan putusnya arus listrik, yang sepertinya tidak bisa mengatasi lonjakan penggunaan daya.
Kebutuhan listrik untuk mesin pendingin ruangan bertepatan dengan peningkatan kebutuhan daya saat Ramadan, ketika umat Islam berpuasa pada siang hari. Protes pun terjadi di beberapa bagian di Sindh, mereka menyalahkan pemerintah dan penyedia listrik utama kota, K-Electric, karena gagal menghindari kematian warga.
"Tidak akan ada pemotongan pasokan listrik, tetapi pemadaman telah meningkat sejak awal Ramadan," ucap PM Sharif. (Tnt/Mut)