Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah mampu menguat ke level 13.280 per dolar AS setelah selama lebih dari dua pekan bertahan di kisaran 13.300 per dolar AS. Rupiah tercatat mampu menguat di tengah pelemahan mata uang negara lain di Asia.
Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, Rabu (24/6/2015) menunjukkan, nilai tukar rupiah berhasil menguat ke level 13.280 per dolar AS setelah lebih dari dua pekan berada di kisaran 13.300 per dolar AS. Rupiah menguat 36 poin dari perdagangan sebelumnya di level 13.316 per dolar AS.
Sementara itu, data valuta asing Bloomberg mencatat nilai tukar rupiah sempat dibuka menguat di kisaran 13.253 per dolar AS. Hingga menjelang siang, nilai tukar rupiah masih berkutat di kisaran 13.253 per dolar AS hingga 13.292 per dolar AS.
Rupiah mampu menguat meskipun dolar AS juga menguat tajam dipicu positifnya angka penjualan rumah baru. Selain itu komentar The Fed tentang potensi kenaikkan suku bunga pada September 2015 juga memicu penguatan dolar AS.
Ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia, Rangga Cipta menjelaskan, penurunan yield surat utang negara (SUN) bertenor 10 tahun mampu membuat rupiah menguat. Sayangnya, penguatan rupiah berpeluang tertahan hari ini lantaran adanya penguatan tajam dolar AS.
Hingga saat ini, Bank Indonesia (BI) sulit memastikan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bisa kembali menguat di bawah level 13.000 per dolar AS. Hal ini karena fenomena super dolar AS yang memicu tekanan pada negara-negara dengan catatan defisit neraca transaksi berjalan.
Gubernur BI, Agus Martowardojo mengungkapkan, kondisi rupiah saat ini berada pada satu keseimbangan antara kecepatan pemerintah melakukan reformasi struktural dan perbaikan defisit transaksi berjalan dengan adanya tekanan global.
"Tekanan global merupakan dampak dari periode super dolar. Super dolar ini membuat negara yang punya defisit transaksi berjalan, inflasi jelek, fundamental lemah akan membuat mata uang tertekan, seperti Brazil dan Turki dengan depresiasi 15 persen hingga 16 persen," jelas dia.
Namun, Agus mengatakan, tekanan berkurang apabila negara tersebut memperkuat reformasi struktural dan memperbaiki defisit transaksi berjalan. Sebagai contoh, India yang mampu membangun kepercayaan diri pasar dan mata uang stabil. (Sis/Gdn)
Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, Rabu (24/6/2015) menunjukkan, nilai tukar rupiah berhasil menguat ke level 13.280 per dolar AS setelah lebih dari dua pekan berada di kisaran 13.300 per dolar AS. Rupiah menguat 36 poin dari perdagangan sebelumnya di level 13.316 per dolar AS.
Sementara itu, data valuta asing Bloomberg mencatat nilai tukar rupiah sempat dibuka menguat di kisaran 13.253 per dolar AS. Hingga menjelang siang, nilai tukar rupiah masih berkutat di kisaran 13.253 per dolar AS hingga 13.292 per dolar AS.
Rupiah mampu menguat meskipun dolar AS juga menguat tajam dipicu positifnya angka penjualan rumah baru. Selain itu komentar The Fed tentang potensi kenaikkan suku bunga pada September 2015 juga memicu penguatan dolar AS.
Ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia, Rangga Cipta menjelaskan, penurunan yield surat utang negara (SUN) bertenor 10 tahun mampu membuat rupiah menguat. Sayangnya, penguatan rupiah berpeluang tertahan hari ini lantaran adanya penguatan tajam dolar AS.
Hingga saat ini, Bank Indonesia (BI) sulit memastikan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bisa kembali menguat di bawah level 13.000 per dolar AS. Hal ini karena fenomena super dolar AS yang memicu tekanan pada negara-negara dengan catatan defisit neraca transaksi berjalan.
Gubernur BI, Agus Martowardojo mengungkapkan, kondisi rupiah saat ini berada pada satu keseimbangan antara kecepatan pemerintah melakukan reformasi struktural dan perbaikan defisit transaksi berjalan dengan adanya tekanan global.
"Tekanan global merupakan dampak dari periode super dolar. Super dolar ini membuat negara yang punya defisit transaksi berjalan, inflasi jelek, fundamental lemah akan membuat mata uang tertekan, seperti Brazil dan Turki dengan depresiasi 15 persen hingga 16 persen," jelas dia.
Namun, Agus mengatakan, tekanan berkurang apabila negara tersebut memperkuat reformasi struktural dan memperbaiki defisit transaksi berjalan. Sebagai contoh, India yang mampu membangun kepercayaan diri pasar dan mata uang stabil. (Sis/Gdn)