DPR Minta KPU Cabut Surat Edaran Pencalonan Kepala Daerah

Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman mengatakan, alasan pihaknya meminta KPU mencabut SE, karena bertentangan dengan UU.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 25 Jun 2015, 06:22 WIB
Dari Bawaslu hadir Ketua Muhammad, Endang Wihdatiningtyas, Daniel Zuchron dan Nasrullah beserta beberapa staf jajarannya, Jakarta, (1/9/14). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - DPR RI melalui Komisi II DPR meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencabut Surat Edaran (SE) KPU Nomor 302/VI/KPU/2015 yang mengatur kepala daerah (KDH) dapat mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya. Sebab, hal itu memuluskan jalan bagi para KDH petahana mengusung keluarga atau kerabatnya mencalonkan diri pada Pilkada serentak 2015.

Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman mengatakan, alasan pihaknya meminta KPU mencabut SE tersebut, karena bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pilkada. Dalam undang-undang itu disebutkan, calon kepala atau wakil kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana dalam jangka waktu 1 periode atau 5 tahun sesudah kepala daerah petahana tidak lagi menjadi kepala daerah.

"Cabut Surat Edaran (SE) ini. Kemudian kita juga revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) soal pengertian petahana yang harus kita sinkronkan dengan UU Pilkada," kata Rambe dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi II DPR bersama KPU dan Bawaslu di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu malam 24 Juni 2015.

Setelah KPU mencabut surat tersebut, lanjut Rambe, KPU kembali melakukan rapat konsultasi dengan pihaknya untuk membahas masalah revisi PKPU terkait kepala daerah petahana. "Kalau tidak ada perubahan PKPU, cukup dicabut dan dijelaskan dengan lisan ya tidak apa-apa," ujar Politisi Partai Golkar ini.

Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria menambahkan, pihaknya bersama pemerintah sudah sepakat politik dinasti tidak dibenarkan. Meskipun, dalam UU Pilkada tidak dijelaskan maksud dari pengunduran diri petahana.

"Definisi di PKPU memberi tafsiran yang bukan petahana bisa mencalonkan. Tapi surat edaran ini justru beri ruang bagi petahana untuk dapat mencalonkan keluarganya," kata dia.

Politisi Partai Gerindra ini menegaskan, terkait pengunduran diri dan pencalonan kepala daerah petahana harus sesuai dengan ketentuan UU Pilkada. "Tapi saya tegaskan, politik dinasti tak diperbolehkan. Meski surat edaran tidak cukup kuat rujukannya," tegas Riza.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto mengatakan, pengunduran diri kepala daerah petahana ini sebenarnya simpel, apabila tidak ada surat edaran ini maka masalah petahana ini tidak ada lagi.

"Dengan ada surat edaran ini banyak modus untuk dia tidak jadi petahana. Usulan ketua tadi untuk ini dicabut atau di revisi berarti sama saja," kata Yandri.

Tunggu Putusan MK

Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan, pihaknya akan menunggu judicial review atau uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), sebelum mencabut atau merevisi surat edaran tersebut. Sebab, pihaknya perlu pertimbangan dari proses yang nantinya diputuskan MK.

"Kita lakukan setelah putusan MK keluar, sehingga tidak ubah-ubah berkali-kali," kata Husni pada kesempatan berbeda.

Selain itu, kata Husni, pencabutan maupun revisi surat edaran dan PKPU pencalonan perlu konsultasi dengan pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri). "Urusan ubah peraturan, perlu konsul lagi antara KPU, DPR, pemerintah," tegas dia.

Kendati, Husni mempertahankan agar surat edaran tidak dicabut. Karena acuan PKPU yang didalamnya menyebutkan petahana adalah yang sedang menjabat atau pernah menjabat kurang dari satu periode masa jabatan kepala daerah.

"Pada prinsipnya kita berpandangan sama soal itu (petahana), tapi aturan kita menimbulkan peraturan baru. Substansi yang perlu adalah definisi petahana tidak mengikat selama menjabat tapi juga mengikat satu periode masa jabatannya, jadi keluarganya tidak bisa calonkan diri," jelas dia.

Pada intinya, mantan Komisioner KPU Sumatera Barat ini kembali menegaskan, tidak ada definisi petahana dan konflik kepentingan di UU Pilkada. "Ketika mau tutup bolong-bolong undang-undang lalu dianggap bias," tandas Husni. (Rmn/Nda)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya