Liputan6.com, Jakarta - Bus Transjakarta kini menjadi angkutan umum andalan warga Ibukota, namun pelayanan moda transportasi ini masih belum memenuhi harapan masyarakat. Transjakarta masih kerap terlibat kecelakaan.
Senin 22 Juni 2015 lalu, sebuah Bus Transjakarta koridor 9 menabrak 3 mobil dan 8 sepeda motor usai mengisi bahan bakar gas di perempatan Mampang, Jakarta Selatan. Sebanyak 5 orang menderita luka-luka dan harus dilarikan ke rumah sakit. Sopir yang baru bekerja 2 hari salah menginjak pedal. Dia seharusnya menginjak rem, namun justru menginjak gas.
Advertisement
Kecelakaan yang melibatkan Transjakarta juga banyak disebabkan oleh tidak disiplinnya para pengguna kendaraan lain seperti dalam kecelakaan di rute Transjakarta Tanjung Priok - Harmoni di Jalan Yos Sudarso, Jakarta Utara.
Sepeda motor yang dikendarai Toni Saptoni menerobos jalur Transjakarta dan terlibat kecelakaan dengan kendaraan lain. Akibatnya, korban pun tertabrak Bus Transjakarta yang melaju di belakangnya.
Penyerobotan jalur Transjakarta memang menjadi salah satu persoalan utama. Sepeda motor dan mobil dengan seenaknya masuk jalur Transjakarta tanpa ada tindakan apapun, padahal peraturan denda Rp 500 ribu bagi penerobos jalur Transjakarta masih berlaku.
Jumlah Bus Transjakarta yang ada saat ini juga menjadi kendala untuk melayani 12 koridor. Dibutuhkan 1.029 bus setara bus gandeng, namun saat ini baru terpenuhi 700 bus. Itu pun hanya 500 bus yang layak jalan.
Dengan jumlah bus yang tidak memadai ditambah penyerobotan jalur Transjakarta yang kerap terjadi, tidak heran bila waktu kedatangan bus menjadi sangat lama pada jam sibuk.
Dari masa ke masa, moda transportasi umum di Ibukota terus berkembang seiring perkembangan jumlah penduduk. Namun hingga kini hanya 30 persen warga yang menggunakan kendaraan umum di Ibukota. Maka, tidak heran kemacetan terus mendera.
Sistem transportasi di Indonesia terus berkembang sejak zaman Belanda. Pada pertengahan abad 19 dikembangkan Tramway yang ditarik kuda di atas rel besi. Istilah zaman kuda gigit besi terkenal pada masa ini. Moda transportasi ini ditiadakan karena dianggap tidak manusiawi.
Tram yang ditarik kuda digantikan tram uap dan kemudian tram listrik. Penumpang dibagi berdasarkan warna kulit dengan bangsa Eropa sebagai kelas utama dan pribumi sebagai kelas paling rendah. Namun pada tahun 1960 ditiadakan oleh Presiden Sukarno.
Becak, dokar, opelet, hingga bemo juga sempat merajai jalanan Ibukota. Tetapi belakangan, becak dan dokar dilarang Gubernur Ali Sadikin. Pada masa Orde Baru, beragam moda trasportasi terus berkembang seiring dengan perkembangan jumlah penduduk.
Saat ini, setiap hari, ada 2,4 juta orang yang tinggal di Jabodetabek dan 7,6 juta warga melakukan perjalanan di wilayah Jakarta. Dari jumlah tersebut, hanya 20 sampai 30 persen perjalanan yang menggunakan kendaraan umum.
Selain terbatasnya kendaraan umum, keamanan menjadi persoalan lain. Kasus pemerkosaan dan kejahatan dengan kekerasan kerap terjadi. Belum lama ini ada seorang karyawati yang diperkosa dalam perjalanan pulang menggunakan angkot jurusan Ciputat - Kebayoran Lama.
Jika dilihat dari beragam persoalan tersebut, tidak heran bila jumlah pengguna angkutan umum tidak semakin bertambah. Diharapkan, dengan semakin baiknya pelayanan transportasi umum, warga Ibukota akan memilih kendaraan umum dalam bepergian agar macet bisa terhindarkan.
Saksikan Barometer Pekan Ini selengkapnya dalam tayangan Liputan 6 Petang SCTV, Sabtu (27/6/2015) di bawah ini. (Vra/Mvi)