Fitra Desak DPR Buat RAPBN 2016 yang Pro-Rakyat

Fitra menilai terdapat gejala kuat adanya 'perampokan' secara sistematis dalam RAPBN 2016 untuk dana politik.

oleh Oscar Ferri diperbarui 28 Jun 2015, 22:34 WIB
Ruang Sidang DPR.

Liputan6.com, Jakarta - Manajer Advokasi Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi menilai terdapat gejala kuat adanya 'perampokan' secara sistematis dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 untuk dana politik. Gejala itu terlihat dari 2 upaya yang tengah 'diperjuangkan' DPR.

"Pertama, dana aspirasi sebesar Rp 11,2 triliun setiap tahun. Kedua,‎ dana bantuan keuangan partai politik hingga Rp 10 triliun per tahun," kata Apung dalam diskusi di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (28/6/2015).

Untuk dana aspirasi, Apung menjelaskan, pihaknya menilai bahwa dana itu tak sesuai arah pembangunan ekonomi antara pusat dan daerah. Dari sisi regulasi, dana aspirasi juga bertentangan dengan beberapa undang-undang.

Yaitu UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU Perencanaan Penganggaran, UU Otonomi Daerah, serta UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.‎

‎Lalu dana bantuan keuangan partai politik. Apung melihat, juga belum efektif peruntukannya. APBN seharusnya digunakan untuk membiayai belanja publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan pangan sebagai prioritas. Apalagi APBN-P 2015 mengalami defisit 1,9 persen atau mencapai Rp 220 triliun. APBN 2016 bahkan disinyalir akan mencapai defisit 2,2 persen.

Untuk menutupi minus itu, solusinya akan diambil dari dana utang luar negeri senilai hampir Rp 150 triliun. Di sini, Apung menilai, bahwa jelas dana bantuan keuangan ‎partai politik belum mendesak dan dibutuhkan.‎

"Berkaca pada 2 masalah itu, maka Fitra menuntut DPR agar lebih terbuka matanya, lebih objektif dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan sendiri dan partai politik," ujar Apung.

Lebih lanjut Apung menerangkan, saat ini jelas DPR begitu dominan menekan pemerintah untuk mencairkan dana-dana politik itu secara legal, alias yang tak bertentangan dengan peraturan. Padahal, di satu sisi, sistem perencanaan APBN versi pemerintah juga masih banyak celah terhadap penyimpangan.

"Jika ini tidak diperbaiki pemerintah, maka justru akan dimanfaatkan DPR. Menjadi celah terjadinya transaksional untuk dana-dana politik ‎tadi," ujar Apung.

Karena itu, Fitra menantang DPR untuk lebih baik membuat APBN 'Alternatif' 2016 dengan prioritas dan kebutuhan serta kepentingan rakyat. Bukan untuk kepentingan pribadi dan golongannya.

"DPR jangan hanya memanfaatkan RAPBN 2016 sebagai ruang transaksional ekonomi politik. Tapi lebih baik membuat APBN 'Alternatif' 2016," tukas Apung. (Ali/Ans)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya