Jelang Muktamar, Pemimpin NU Diusulkan Dipilih Lewat Perwakilan

Sistem ini telah diterapkan saat Muktamar NU ke-27 di Situbondo, saat menetapkan KH Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum PBNU.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 29 Jun 2015, 07:27 WIB
Presiden Jokowi (keempat kanan) bersama pimpinan NU dan sejumlah Menteri dan Kepala Lembaga Negara mengikuti Istighosah Nahdlatul Ulama (NU) di Masjid Istiqlal, Jakarta, Minggu (14/6/2015). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Nahdlatul Ulama (NU) akan menggelar muktamar ke-33 pada 1-5  Agustus mendatang di Jombang, Jawa Timur. Muktamar akan digelar menggunakan sistem musyawarah mufakat dengan pendekatan konsep Ahlul Halli wal Aqdi (semacam anggota dewan).

Ketua Umum DPP Laskar Ahlussunnah Jamaah Wal Jamaah, ‎Adhi Permana‎, mengatakan, ‎keputusan ini telah melalui proses pemikiran panjang, dialog, dan pertimbangan sampai pada tahap memilih mana yang lebih banyak manfaatnya bagi NU dan masa depannya. Khususnya dalam upaya menempatkan ulama pada martabat yang terhormat sebagai pewaris para nabi.

"Ra’is ‘Aam (pemimpin tertinggi di NU) tidak hanya bermakna pucuk pimpinan dalam struktur organisasi NU, tetapi juga merupakan simbol pemimpin panutan umat (al-ulama qadatul ummat)," kata Adhi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu 28 Juni 2015.

Karena itu, lanjut dia, figur Ra’is ‘Aam haruslah pribadi yang wara, zuhud, bersikap adil, alim atau berilmu, memiliki wawasan keagamaan yang luas, memiliki integritas moral, tawadu, berpengaruh, dan memiliki kemampuan memimpin.

‎Guna menghasilkan figur Ra’is ‘Aam yang memenuhi atau mendekati kriteria di atas, maka para pemilih haruslah orang-orang yang memiliki pengetahuan, kejujuran dan kearifan, serta keteguhan dalam bersikap.

"Dalam konteks ini harus diakui bahwa tidak semua orang memenuhi syarat menjadi pemilih dengan karakteristik luhur tersebut, sehingga apabila pemilihan dilakukan secara langsung maka dikhawatirkan hasil pilihannya bukanlah figur Ra’is ‘Aam seperti yang diharapkan," ucap Adhi.

Sebagai solusi, lanjut Adhi, harus menerapkan sistem perwakilan, di mana sekelompok orang yang memenuhi syarat di atas merepresentasikan aspirasi umat, memilih figur Ra’is ‘Aam secara musyawarah mufakat.

"Sistem pemilihan yang dalam ajaran fikih ahlussunnah wal jamaah dinamakan Ahlul Halli wal Aqdi ini bukanlah konsep baru dalam tradisi Nahdlatul Ulama. Konsep ini justru telah dikenal dan diamalkan oleh para ulama pendiri NU sejak tahun 1926 sampai dengan tahun 1952 ketika NU menjadi partai politik," jelas Adhi.

Sistem ini, ujar dia, juga telah diterapkan saat Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, ketika menetapkan kembali ke khitah 1926 sekaligus menetapkan KH Ali Maksum dan KH Abdurrahman Wahid sebagai Ra’is ‘Aam dan Ketua Umum PBNU.

Adhi mengatakan, setiap zaman membutuhkan jalannya sendiri untuk mampu bertahan dan berkembang maju. Dinamika NU saat ini membutuhkan adanya keberanian untuk tidak hanya mengikuti arus, tetapi menentukan pilihan sendiri yang dirasakan lebih bermanfaat bagi kehidupan dan masa depan NU.

"Apalagi saat ini NU dengan ajaran Islam rahmatan lil alamin semakin diterima dan dipercaya dunia internasional bahkan dijadikan model keberagamaan yang mampu menjamin terciptanya hubungan antar-pemeluk agama yang toleran dan saling menghargai," jelas Adhi. (Sun/Nda)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya