Liputan6.com, Jakarta - Kinerja Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno terus menuai sorotan. Kinerjanya dinilai kurang sebagai salah satu pembantu presiden karena sarat kontroversi di tengah minim prestasi yang dicetaknya selama menjadi menteri.
"Dari awal kami sudah sangat keras bersuara dan bahkan menolak Rini untuk duduk memimpin Kementerian BUMN," kata Direktur Eksekutif Energi Watch, Ferdinand Hutahaean, di Jakarta.
Adapun alasan penolakan keberadaan Rini di kabinet, dilihat dari tidak adanya konsep jelas untuk membesarkan dan menata BUMN. Serta, dilihat saat mengurus perusahaannya.
"Coba lihat sekarang situasi BUMN kita, semua kacau balau, tidak ada yang lebih maju dari sebelumnya, bahkan mempertahankan yang sudah ada saja tidak mampu, apalagi membesarkan," cetus Ferdinand.
Dalam catatan, belum setahun menduduki posisi orang nomor satu di Kementrian BUMN, sosok Rini Soemarno memang belum menghasilkan prestasi.
Salah satu buktinya, terkait permasalahan waktu bongkar muat (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Kemudian pergantian Direktur Utama Bulog yang baru seumuran jagung. Padahal, jajaran direksi adalah pilihannya sendiri.
Terakhir, secara tidak langsung mengintervensi transaksi tukar guling saham PT Telkom dengan PT Tower Bersama melalui pernyataan yang memberikan sentimen negatif kala melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI pada Selasa (30/6/2015) bagi saham Telkom.
Dampak dari pernyataan blunder Rini terhadap aksi korporasi Telkom terlihat dari harga saham yang turun pada penutupan perdagangan Rabu (1/7/2015) yakni menjadi Rp 2.920 per saham dari pembukaan Rp 2.935 per saham.
Pengamat Politik Arbi Sanit menilai saatnya Rini Soemarno dilepaskan dari jajaran menteri ‘kabinet kerja’ Jokowi-JK.
"Karena dia sudah di posisi kontroversi secara publik, presiden dan partai pendukung," tegas Arbi.(Nrm/Ahm)
Advertisement