Liputan6.com, Jakarta - Ia sudah duduk di kokpit pesawat sejak berusia 17 tahun, saat masih jadi siswi sekolah penerbangan. Selama jadi pilot, Elesta Apriliana Wulansari mencatatkan sekitar 2.500 jam terbang. Namun, masih ada juga penumpang yang meragukan kemampuannya, hanya karena ia adalah seorang perempuan.
"Pernah ada beberapa penumpang bilang ke pramugari, 'Kok pilotnya cewek sih, Mbak?'" kata Elesta kepada Liputan6.com. "Bahkan, ada yang turun dari pesawat gara-gara tahu pilotnya perempuan. Mereka minta pindah ke penerbangan selanjutnya, penerbangan yang lain."
Gadis cantik 22 tahun itu masih ingat, insiden tersebut terjadi dalam penerbangan dari Jayapura menuju Wamena di Papua. "Perasaannya, ya sedih sih. Masa cuma karena saya perempuan, skill dan knowledge saya diragukan," kata Elesta.
Di perusahaan tempatnya mengabdi saat ini, Trigana Air, Elesta bukan satu-satunya pilot perempuan. "Ada senior aku satu. Ada lagi di airlines lain."
Advertisement
Langit Indonesia timur adalah medan yang menantang bagi pilot, termasuk Elesta. "Tantangan terberat pasti medannya. Daerah terpencil itu minim alat navigasi, nggak ada Air Traffic Control (ATC). Hanya dari radio pesawat ke radio pesawat," cerita dia.
Pilot pun ditantang untuk mengatur manajemen pesawat. "Perubahan cuaca juga terjadi sangat cepat."
Elesta mengisahkan, tantangan jelas di Papua adalah, pilot harus menghafal area. "Gunung tingginya berapa kita harus tahu. Obstacle apa saja, kita harus tahu ada di koordinat mana letaknya," kata dia. "Medan terberat itu di Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua Barat."
Perempuan yang suka mendengarkan musik slow rock tersebut mengaku, pernah nyaris bertemu hidung, head to head dengan pesawat lain.
"Sebenarnya terbang di sana syaratnya harus kondisi visual baik. Namun perubahan cuaca sangat cepat. Pas di Jayapura terima laporan cuaca bagus, tapi sampai sana sudah sangat berawan," kata dia.
"Dan kebetulan ada pesawat lain juga. Mau landing di Oksibil. Kita harus tahu posisi pesawat di mana, dan ada satu miss sama pilot pesawat tadi." Untung, insiden yang tak diinginkan bisa dielakkan.
Tantangan juga dirasakan di langit Ambon. Angin di sana kencang dan cuaca juga cepat berubah. "Enaknya di sana, pemandangannya bagus," kata Elesta. Sementara, Kalimantan dari sisi cuaca, lumayan. "Tapi awannya lebih jahat daripada Papua."
Sebagai orang yang bertanggung jawab pada pesawat dan penumpang di dalamnya, kata gadis kelahiran Brebes itu, pilot harus mengenal area yang diterbangi, juga bagaimana cuacanya.
"Setiap mau terbang ada briefing-nya juga. Antisipasinya dari situ. Misalnya, sekitar jam sekian di sini agak berawan. Pas end road cuacanya begini. Ada antisipasi juga."
Tetap Terbang Saat Puasa
Tetap Terbang Saat Puasa
Selain itu, memilih profesi pilot menjauhkan Elesta dari orang-orang terkasih, terutama kedua orangtua. "Selama jadi kopilot, sudah 2 kali terbang saat puasa dan Lebaran. Lepas dari keluarga," kata dia. "Yang pasti sedih, namanya tugas ya mau bagaimana lagi. Itu tanggung jawab kita."
Untuk mengobati rindu, setiap mau terbang, Elesta selalu menelepon orangtua. "Selesai terbang juga ngabarin lagi. Istirahat juga. Setiap hari komunikasi sama orangtua."
Itu mengapa, setiap terbang, Elesta selalu membawa foto kedua orangtuanya. "Boneka Teddy Bear kecil juga. Dan aku terbang nggak bisa kalau nggak pakai gelang. Kayak ada yang kurang saat mau landing nggak ada bunyi krincing-krincing dari suara gelang."
Menerbangkan pesawat selagi beribadah puasa di bulan Ramadan juga menjadi tantangan tersendiri bagi Elesta. "Pernah, buka puasa saat terbang. Ya sekadar minum dan makan buah," kata dia. Saat berpuasa, cerita dia, kondisi badan lebih lelah dari hari-hari biasa.
Suatu hari, ada kejadian lucu. "Saat bulan puasa, pramugarinya lupa nawarin minum ke depan (kokpit). Kita juga request. Pas minum baru ingat kalau ternyata lagi puasa," kata dia, tersenyum. (Ein/Yus)
Advertisement