Kontroversi Jaminan Hari Tua, Ini Penjelasan Menteri Tenaga Kerja

JHT berfungsi sebagai perlindungan pekerja saat tidak lagi produktif, baik karena cacat tetap, meninggal dunia maupun memasuki usia tua.

oleh Nurmayanti diperbarui 03 Jul 2015, 09:34 WIB
Menakertrans, Hanif Dhakiri memberikan penjelasan saat rapat kerja dengan komisi IX di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (26/5/2015). Rapat membahas Program dan grand design Pemerintah bidang Ketenagakerjaan. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Aturan baru pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial /BPJS Ketenagakerjaan,  yang baru dapat dicairkan penuh bila peserta sudah berusia 56 tahun dan masa pencairan menjadi minimal 10 tahun masa kepesertaan, menuai protes masyarakat.

Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dhakiri angkat bicara memberikan penjelasan atas hal ini. Dia mengatakan, JHT berfungsi sebagai perlindungan untuk pekerja saat tidak lagi produktif, baik karena cacat tetap, meninggal dunia maupun memasuki usia tua.

"Dana JHT itu secara konsep kebijakan nanti diterimakan kepada para peserta secara gelondongan pada saat mereka tidak lagi produktif sehingga masa tua peserta terlindungi dengan skema perlindungan JHT itu," jelas dia di Jakarta, Jumat (3/7/2015).

Dia menyebutkan, dalam ketentuan Undang-undang nomor 40/2004 tentang SJSN (Pasal 37 ayat 3) menegaskan jika pembayaran manfaat JHT dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 tahun.

Pengaturan lebih lanjut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) JHT yang baru, yang hanya menjabarkan kata "sebagian" yaitu dana bisa diambil 30 persen untuk uang perumahan dan 10 persen untuk lainnya.

"Selebihnya bisa diambil pada saat peserta tidak lagi produktif sebagaimana penjelasan di atas. PP JHT tentu saja tidak mungkin menabrak UU SJSN itu," tegas Menaker.

Selanjutnya, kata dia, jika pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) maka dapat pesangon. Kemudian bila yang bersangkutan bekerja kembali maka kepesertaan dapat berlanjut. Namun jika pekerja meninggal sebelum usia 55 tahun maka ahli waris yang berhak atas manfaat JHT. "Itu ketentuan UU SJSN," sambungnya.


Aturan Baru Sesuai Mandat UU SJSN


Menaker pun memberikan penjelasan soal aturan sebelumnya, yang tertuang dalam UU 3/1992 tentang Jamsostek yang lebih lanjut dijabarkan dalam PP 1/2009 bahwa manfaat JHT dapat dicairkan setelah usia mencapai 55 tahun atau meninggal dunia atau pekerja kena PHK dengan ketentuan masa kepesertaan 5 tahun dan waktu tunggu 1 bulan.

Di mana, bila ada peserta yang sudah membayar iuran 5 tahun dan yang bersangkutan di-PHK, maka bisa mencairkan dana JHT itu setelah ada masa tunggu satu bulan.

"Sebagai contoh jika pekerja di PHK masa kerja baru 3 tahun maka pencairannya menunggu sampai 5 tahun. Jika pekerja tersebut mendapat pekerjaan lagi maka kepesertaannya berlanjut meskipun di perusahaan lain," Hanif mencontohkan.

Perihal adanya perubahan aturan, dia menuturkan, pertama itu sesuai dengan mandat UU SJSN yang menegaskan klaim JHT setelah kepesertaan 10 tahun.

Kedua, dalam UU SJSN tidak memberikan alasan pengambilan kalau terjadi PHK, yang berbeda dengan UU Jamsostek.

Ketiga, karena secara substansi UU SJSN dan PP JHT yang baru sebagai turunannya mengembalikan spirit JHT sebagai skema perlindungan hari tua pada saat pekerja tidak lagi produktif.

"Kalau peserta di-PHK lalu dana JHT bisa dicairkan semua (sebelum memenuhi syarat pencairan) hal itu selain bertentangan dengan UU SJSN, juga keluar dari spirit perlindungan masa tua. Kalau masalahnya PHK kan sudah ada skema pesangon sebagai instrumen perlindungan," tegas dia.

Dia menilai JHT selama ini dikesankan seolah-olah seperti tabungan biasa. Itu yang dipahami peserta selama berlakunya Jamsostek dulu. Begitu dikembalikan ke dalam spirit perlindungan hari tua sebagaimana dalam UU SJSN, maka timbullah kerisauan, walaupun dana JHT tdk akan hilang.

Sesungguhnya skema Jamsos dengan 4 program (JKK, JKM, JHT dan JP) itu dikatakan melindungi seluruh resiko para pekerja. Mulai dari kecelakaan kerja, kematian, hari tua dan pensiun.

Hal ini dinilai sebenarnya terobosan baru dari pemerintah saat ini yang sangat berpihak pada peningkatan perlindungan sosial dan kesejahteraan pekerja.

"Itu kira-kira penjelasan soal JHT yang sedang ramai di media. Pemerintah tetap terbuka dan mendengarkan aspirasi publik terkait hal ini karena mungkin memang perlu sosialisasi lebih lanjut atau semacam diperlukannya masa transisi dari regulasi lama ke regulasi baru. Pemerintah juga membuka kemungkinan bagi adanya solusi-solusi tertentu sebagai bentuk respons terhadap realitas yang berkembang di masyarakat. Tentunya soal ini akan dikaji dan dikoordinasikan lebih lanjut dengan BPJS ketenagakerjaan serta instansi-instansi terkait," tandasnya. (Nrm/Gdn)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya