Liputan6.com, New York - Hujan dan salju menyebabkan orang memilih tinggal di rumah guna menikmati minuman teh atau coklat hangat.
Tentu saja banyak peristiwa dalam sejarah militer ketika para jenderal juga sebisa mungkin menghindari cuaca buruk. Hujan, salju, dan udara dingin dapat mempersulit dugaan dan mengganggu jalur pasokan.
Baca Juga
Advertisement
Tapi, seperti dikutip dari War History Online pada Jumat (16/12/2016) ada beberapa contoh ketika pertempuran berlangsung dalam keadaan cuaca yang sangat buruk, seperti 4 contoh berikut:
1. Sungai Trebia Dingin Membeku
Tentara Romawi dan Kartago sedang memasuki satu lagi peperangan utama di darat dalam masa Perang Punik Kedua. Hannibal sudah ada di Italia selama beberapa bulan dan mengancam akan bergerak ke Italia bagian tengah.
Ia mendapat perlawanan dari Konsul Tiberius Sempronius Longus. Walaupun tidak ada alasan baginya untuk meragukan legionnya, tapi ia memberikan mereka kemungkinan menang yang rumit.
Pada puncak musim dingin, di akhir Desember, Hannibal mengirimkan mata-mata menyeberang sungai Trebia untuk menyerang kamp Romawi, sedangkan keseluruhan pasukannya sarapan di sekitar api unggun menjelang matahari terbit.
Pasukan Romawi tersentak bangun dan Sempronous segera mengirimkan pasukannya dengan tekat untuk perang puputan guna mendepak Hannibal dari Italia.
Salah satu caranya adalah dengan mengirim pasukan menyeberangi sungai Trebia yang sedingin es pada saat turun salju. Pasukan Hannibal bersiap, sedangkan pasukan Romawi harus mengarungi air dingin setinggi dada. Banyak anggota pasukan yang terpaksa melepaskan senjata mereka karena menjadi terlalu dingin untuk digenggam.
Setelah pertempuran dimulai, Hannibal mengirimkan pasukan kavaleri tersembunyi untuk menyerang bagian belakang formasi tentara Romawi yang baru saja keluar dari air dingin membeku. Hannibal menang mudah dan kabar ini menebarkan kejutan ke seluruh Italia.
Advertisement
2. Pelajaran Berharga bagi Napoleon
Pihak Rusia menganggap perang yang satu ini sebagai Perang Patriotik dan diperjuangkan mati-matian. Ketika Napoleon melakukan invasi ke Rusia, ia sedang membangunkan raksasa tidur, tapi yakin bahwa pasukan hebatnya dapat merangsek hingga ke Moskow dan memaksa pihak Rusia bertekuk lutut.
Pihak Rusia mengetahui betapa dahsyatnya Napoleon dan memutuskan untuk mengambil kebijakan jitu. Pihak Rusia melakukan beberapa pertempuran sekaligus dengan Prancis sambil terus bergerak mundur, bahkan ketika mereka menang.
Sambil mundur, mereka membawa serta semua pasokan sehingga menyulitkan pasokan bagi pasukan Napoleon. Setelah Pertempuran Borodino, di luar Moskow, Napoleon menang mudah. Tapi Rusia belum menyerah.
Sambil mundur, musim dingin ganas Rusia mulai menggerogoti pasukan Napoleon. Serangan cepat Rusia dalam Perang Vyazma menghambat mundurnya Napoleon secepat ketika mereka datang.
Suhu di bawah titik beku datang di pertengahan November 1812 dan pasukan Rusia memanfaatkannya dalam Perang Krasnoi. Di sana, bahkan keberhasilan pasukan Prancis untuk bisa kabur secara utuh pun dianggap pencapaian.
Pasukan Prancis kedinginan dan kelaparan. Mereka terus-menerus mengkhawatirkan serangan susulan oleh Rusia.
Akhirnya, Napoleon tiba di sungai Berezina. Sebetulnya tinggal menyeberang saja, tapi sungai kemudian meleleh. Bukannya air beku untuk menyeberang, pasukan Napoleon malah berhadapan dengan sungai lebar yang dingin dengan bongkahan-bongkahan es yang terseret arus.
Beberapa anggota zeni memberanikan menantang air dingin membeku untuk membangun jembatan sederhana, sedangkan Rusia melancarakan serangan ganas terhadap pihak Prancis yang kelabakan.
Pasukan Prancis berdesakan menyeberang melalui jembatan dengan panik dan banyak yang tercebur. Hipotermia dan sengatan beku menimpa ribuan orang.
Pasukan Prancis berhasil menyeberang, tapi kehilangan puluhan ribu orang. Serangan ini sangat memperlemah pasukan Prancis dan reputasi mereka di dunia luar. Para sekutunya pun mengubah dukungan dan mulailah Perang Enam Koalisi yang akhirnya menyeret Napoleon ke pengasingannya yang pertama di pulau Elba.
3. Front Italia dalam Perang Dunia II
Front pertempuran Italia selama Perang Dunia I termasuk yang paling tidak diketahui. Curamnya pegunungan memang berbahaya, tapi cuaca juga memainkan peran amat penting.
Italia tidak pernah benar-benar bergabung dengan Jerman dan Austro-Hungaria yang menjadi sekutunya di awal perang, lalu ganti berpihak kepada Prancis dan Inggris dengan harapan meraih kawasan sekitar Alps dan Dalmatia.
Kampanye peperangan Italia menjadi runyam di tempat terburuk di Alps, khususnya di Pegunungan Dolomite dengan pertempuran di parit-parit persembunyian dan lorong-lorong.
Sukar dicerna akal sehat, tapi posisi-posisi penempatan pasukan dan tempat peperangan ada di tempat-tempat yang hanya layak bagi pendaki gunung serius, bahkan untuk ukuran masa kini.
Sering terjadi longsor dan tumpahan kerikil, dan banyaknya bahan peledak yang dipakai untuk menghancurkan parit-parit persembunyian musuh malah menyebabkan lebih banyak longsoran.
Pihak Italia bersusah payah mendesak maju dalam peperangan, tapi kemudian datanglah penambahan pasukan Jerman yang kemudian mendesak balik hingga tentara Italia nyaris meninggalkan garis pertahanan mereka.
Ketika garis itu cukup stabil, dua pihak sama-sama menggali lorong-lorong di pegunungan, kadang-kadang mencapai 30 meter dari puncak-puncaknya.
Perlahan-lahan, Italia berhasil melakukan desakan akhir pada 1918 dan merangsek masuk hinga jauh ke dalam Kerajaan Austro-Hungaria.
Advertisement
4. Operasi Neptune, Perang Dunia II
Invasi Normandia dalam Perang Dunia II --dikenal dengan nama D-Day--membuka jalan lebar memasuki Eropa. Cuaca memainkan peranan sangat penting dalam perencanaan dan pelaksanaan D-Day.
Selat Inggris dikenal memiliki badai hanya dalam sekejap, dengan cuaca semisal hujan, angin, ombak ganas dan pasang surut memberi dampak kepada hampir semua aspek dalam operasi, mulai dari pemboman dari udara, para penyerbu, hingga perahu-perahu pendarat.
Sedemikian pentingnya saat itu sehingga pihak Sekutu memiliki sendiri sejumlah tim meteorologis terbaik di dunia dengan tugas melakukan ramalan cuaca. Hasilnya, dugaan cuaca kurang baik pada 5 Juni 1944.
Menurut kepala meteorologis Eisenhower, cuaca pada tanggal 4 malam akan sangat buruk hingga ke tanggal 5.
Ramalan cuaca sejak 2 minggu sebelumnya itu cukup 'berani', apalagi karena cuaca sedang tenang dan nyaman. Ternyata, cuaca buruk memang datang pada tanggal 5 Juni.
Adanya celah cuaca ditemukan oleh para ahli meteorologi sehingga pihak sekutu bisa melancarkan serangan pada keesokan pagi. Ramalan ini juga cukup berani, apalagi karena cuaca sedang tidak sedemikian buruknya.
Eisenhower memiliki kesempatan menunda sehari, tapi penundaan seminggu akan memberatkan sumber daya dan memaksanya untuk memindahkan banyak sekali manusia dan kapal.
Dengan demikian, Eisenhower memutuskan untuk menjajal celah cuaca itu. Belakangan ketahuan bahwa cuaca tanggal alternatif pada 19 Juni justru lebih buruk lagi di selat.
Invasi itu berhasil, walaupun dengan jumlah korban yang luar biasa karena cuaca memang sekedar cukup cerah untuk melakukannya, tapi bukan cuaca yang benar-benar "baik", terutama dengan ombak-ombak yang tinggi.
Sebaliknya, ramalan cuaca oleh pihak Jerman tidak sebaik itu. Mereka tidak memiliki kendali atas lautan di utara dan barat. Pihak Inggris menggunakan perangkat cuaca sendiri dan perangkat Irlandia.
Pihak Jerman menganggap badai cukup merata sehingga tidak mungkin ada invasi. Banyak komandan sedang meninggalkan pos mereka dan para tentara sedang diberi cuti.
Banyak hasil kejadian dalam Perang Dunia II bergantung kepada faktor-faktor yang terdengar sepele. Cuaca adalah salah satu faktor dalam invasi Normandy.