Liputan6.com, Jakarta Masalah gizi buruk ternyata masih terjadi di Indonesia. Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merilis data bahwa 11 balita di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) meninggal dunia akibat gizi buruk dalam rentang waktu lima bulan. Gizi buruk ini sebagai imbas gagal panen di daerah tersebut.
Kabar menyedihkan ini membuat Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar prihatin. Kejadian serupa tidak boleh terjadi lagi di kemudian hari karena penyelesaian masalah secara permanen bisa dilakukan melalui program Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang sedang dikembangkan.
Advertisement
"Saya berbela sungkawa atas meninggalnya balita di NTT akibat gizi buruk. Kami di Kementerian Desa sedang membangun program BUMDes yang akan mengantisipasi agar kejadian seperti ini tidak lagi terulang,” ujar Menteri Marwan, di Jakarta, Selasa (7/7).
Menteri dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini akan terus mendorong agar desa-desa segera pembentukan BUMDes untuk mempercepat akselerasi perekonomian desa. Daerah yang sudah punya BUMDes pun harus terus membenahinya. Peranan BUMDes ini sangat penting, yakni untuk pengembangan usaha, pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa, dan pemberian bantuan untuk masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa sebagaimana diamanatkan Pasal 80 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Terhadap kasus gizi buruk yang sedang terjadi di NTT, pemerintah pusat sudah bergerak memberikan bantuan pangan langsung sebagai upaya tanggap darurat. Namun Menteri Marwan mengingatkan bahwa yang tak kalah penting adalah melakukan antisipasi permanen agar jangan lagi ada masalah gizi buruk di Indonesia. Solusi permanen ini salah satunya melalui program dana desa yang lebih memberdayakan masyarakat.
“Makanya konsep yang dikembangkan sekarang bukan lagi membangun desa, tapi desa membangun. Masyarakat desa sekarang harus diberdayakan menjadi subjek, bukan sebagai obyek. Kita harap desa yang selama ini tertinggal bisa bangkit, termasuk desa yang kerap gagal panen seperti yang terjadi di NTT,” imbuh Marwan.
Keberadaan BUMDes bisa menjadi lokomotif untuk sistem pertanian di desa. Masyarakat bisa diberdayakan menjadi petani sukses, mengingat penggunaan dana desa sepenuhnya berbasis masyarakat untuk memenuhi apa yang dibutuhkan di desanya.
“Kalau misalnya ada habatan soal panen, maka guna dana desa ini untuk program antisipasi agar tidak lagi terjadi gagal panen. Misalnya membenahi irigasi, membangun embung (kantong penadah air) dan sebagainya. Masyarakat desa tentu harus mengetahui apa kebutuhannya kemudian gunakan dana desa ini untuk kebutuhan itu,” jelas Marwan.
Jika musim panen tiba, Ketua Dewan Pembina Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (Gemasaba) ini mengimbau agar desa-desa memperkuat stok beras desa melalui lumbung pangan yang berfungsi sebagai cadangan pangan desa untuk mengatasi masa paceklik.
Marwan mengingatkan, lumbung pangan desa harus dikembangkan menjadi lembaga usaha desa berbasis pangan. Lumbung pangan ini dibentuk dan dikelola oleh desa yang bergerak di bidang penyimpanan, pendistribusian, pengolahan dan perdagangan beras dan bahan pangan pokok lainnya.
“Lumbung pangan desa paling tepat dikembangkan menjadi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes adalah lembaga usaha desa yang dibentuk dan dikelola bersama oleh masyarakat dan pemerintah desa untuk memperkuat perekonomian desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa,” imbuh Marwan.
Kementerian Desa memiliki perhatian khusus pada daerah NTT. Sebab, dari 22 Kabupaten/Kota di NTT, ada 18 kabupaten masih dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Selain mendorong dengan dana desa, juga memberi intervensi bantuan untuk kabupaten tertinggal, misalnya membantu pertanian tanaman jagung, bantuan Angkutan Pedesaan, membangun sumber air bersih, termasuk bantuan ternak sapi bagi masyarakat.
“Banyak program yang akan kita jalankan di NTT, dan saya akan pantau langsung pelaksanaannya,” tuntas Marwan.