Bank Dunia Minta Jokowi Percepat Penyerapan Anggaran

APBNP 2015 merupakan tahun pertama dalam sejarah, belanja infrastruktur Indonesia lebih besar dari subsidi.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 08 Jul 2015, 12:32 WIB
Ilustrasi Bank Dunia (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - ‎Bank Dunia mengkhawatirkan lambannya penyerapan belanja modal dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang masih kecil hingga akhir Mei 2015. Namun pemerintah dan pengamat membela bahwa kondisi ini sama dengan era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat berkuasa pertama kali.

Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia, Ndiame Diop dalam laporan Indonesia Economic Quarterly (IEQ) Edisi Juli 2015 mengungkapkan, sampai dengan Mei 2015, belanja modal baru terserap Rp 17 triliun atau 6 persen dari anggaran belanja modal tahun ini. Jumlah itu turun dari periode yang sama sebelumnya Rp 20 triliun atau 9,5 persen dari total anggaran.

"Ini sudah setengah tahun berjalan, tapi belanjanya mengkhawatirkan. Seharusnya penyerapan belanja tersebut bisa mendorong pertumbuhan ekonomi," ucap dia di Energy Tower, Jakarta, Rabu (8/7/2015).

Menanggapi pernyataan tersebut, Pelaksana Tugas Badan Kebijakan Fiskal, Suahasil Nazara mengatakan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 baru efektif dijalankan pada 16 Februari 2015.

"Jadi dengan semua birokrasi yang ‎susah, kami mulai bekerja pada Maret atau April ini. Tidak adil mengatakan manfaat dari belanja ini melambat, tapi belum dirasakan dan jika sudah terserap maka ada manfaat yang besar," terang dia.

Suahasil menambahkan, ini merupakan tahun pertama dalam sejarah, belanja infrastruktur Indonesia lebih besar dari subsidi. Pemerintahan Jokowi berani menghapus subsidi Premium dan mengalokasikan Rp 290 triliun untuk belanja infrastruktur 2015.

"Ini pertama kalinya belanja infrastruktur lebih besar dari subsidi. Jika dibelanjakan dengan tepat, maka ada manfaat atau keuntungan yang bisa kita raih terutama mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 5,2 persen tahun ini," jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Ari Kuncoro membela bahwa kondisi penurunan investasi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi ini ‎sama dengan 2005, di mana saat itu pemerintahan SBY baru saja berkuasa.

"Ini fenomena baru di Indonesia, ada politik pada kondisi bisnis di awal pemerintahan. Permasalahannya mungkin mereka enggak tahu apa yang harus dilakukan sebagai pemerintah baru. Nanti mereka belajar, baru paham. Alasan lain, banyak pekerjaan yang harus menunjuk wakil dari seorang pimpinan, seperti Dirjen dan lainnya," terang dia.

Ari mengaku, perlambatan belanja modal atau pemerintah ini terjadi di kuartal I dan II. Namun akan meningkat di kuartal III dan IV karena proyek pembangunan mulai berjalan. "Pulihnya memang setelah 6 bulan, belanja baru bisa terserap karena perlu menunggu lelang, dan‎ sebagainya," pungkas dia. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya