Liputan6.com, Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus Undang-Undang Pilkada Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf r menuai pro dan kontra. Bagi sejumlah masyarakat, putusan tersebut dinilai sebagai bentuk kemunduran pahit.
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, mengatakan, putusan MK sangat mengecewakan rakyat. Ia menilai putusan tersebut hanya berdasar pada konstitusi, namun mengabaikan argumen sosiologis dan kronologis terbentuknya aturan dalam Pasal 7 huruf r UU Pilkada itu.
"Ini putusan mengembalikan kita ke era yang pahit dalam demokrasi. Di luar argumen konstitusionalnya, menurut saya yang tidak terjamah oleh putusan MK adalah argumen-argumen sosiologis dan kronologis dalam pembuatan UU itu," ujar Ray kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (9/7/2015).
Ray mengungkapkan, pembuatan UU Pilkada itu akibat keresahan masyarakat yang memuncak terhadap situasi dan fenomena politik di beberapa daerah. Aturan yang berkaitan dengan pembatasan kekuasaan incumbent (petahana) dalam pelaksanaan pilkada pada faktanya tidak bisa diterapkan.
"Karena itu, (aturan) harus naik sedikit dengan mengatur keluarga-keluarga incumbent. Kalau tidak, peraturan-peraturan sebelumnya tidak terlalu cukup efektif untuk menghentikan mereka," papar Ray.
Ray merasa heran terhadap alasan MK yang menjadikan pertimbangan menghapus pasal tersebut. Jika pertimbangan semata-mata karena dianggap inkonstitusional, Ray mengatakan, masih banyak aturan di negeri ini yang bertentangan dengan hukum atau konstitusi.
Mantan aktivis 98 ini juga heran dengan argumen lain yang digunakan MK mengabulkan permohonan uji materi atau judicial review terhadap Pasal 7 huruf r UU Pilkada itu. Dalam argumennya, MK meminta aturan terhadap petahana yang harus ditegaskan, bukan pembatasan terhadap anggota keluarganya.
"Mengatur keluarganya itu, karena semua aturan yang memungkinkan membatasi kekuasaan petahana itu sudah dibuat tapi tidak berjalan efektif," tandas Ray Rangkuti.
UU Pilkada Pasal 7 huruf r mengatur tentang bagaimana cara menjadi calon kepala daerah melalui pilkada serentak 2015 nanti. Dalam pasal itu, seseorang yang mempunyai hubungan darah atau konflik kepentingan dengan incumbent tidak diperbolehkan maju menjadi calon kepala daerah. (Sun/Sss)
Sahkan Politik Dinasti, MK Dianggap Abaikan Argumen Sosiologis
Ray mengatakan, pembuatan UU Pilkada itu akibat keresahan masyarakat yang memuncak terhadap situasi dan fenomena politik di beberapa daerah.
diperbarui 09 Jul 2015, 11:32 WIBAdvertisement
Advertisement
POPULER
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berita Terbaru
Kapan LRT Jabodebek Sampai Bogor? Ini Bocorannya
Melihat Pelatihan Tenaga Pengeboran di Indonesia Drilling Training Center
Dede Yusuf Kenang Almarhumah Ibunya, Sebut Sosok Wanita yang Tangguh
50+ Kata-Kata Tebak Kata Seru untuk Mengisi Waktu Luang, Bikin Ngakak!
Cara Menurunkan Gula Darah Tinggi: 15 Metode Efektif untuk Mengontrol Kadar Glukosa
350 Quote Tentang Alam yang Menginspirasi dan Menyejukkan Hati
Saksikan Sinetron Naik Ranjang Episode Kamis 28 November 2024 Pukul 20.00 WIB di SCTV, Simak Sinopsisnya
Pramono-Rano Klaim Menang Satu Putaran, KPU Jakarta: Tunggu Hasil Resmi
Unggul Versi Hitung Cepat, Kemenangan Andra-Dimyati Dianggap Babak Baru untuk Banten
Sederet Keuntungan UMKM Masuk Ekosistem Digital, Apa Saja?
Sekjen OECD: Joe Biden dan Perdana Menteri Inggris Dukung Indonesia Masuk OECD
Mekanisasi Pertanian, Kunci Sukses Indonesia Jadi Lumbung Pangan Dunia