Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus Pasal 7 huruf r UU Pilkada tentang larangan keluarga incumbent atau petahana mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Aturan ini dianggap inkonstitusional, karena bertentangan dengan UUD 1945 tentang hak asasi manusia (HAM) dan hak konstitusional warga.
Berbagai kalangan menyesalkan putusan MK itu, karena dinilai telah melegalkan politik dinasti dalam pencalonan kepala daerah. MK juga dinilai telah mencegah perbaikan pemerintahan di daerah, karena tujuan dibuat aturan pembatasan politik dinasti dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, agar pemerintahan daerah tidak 'dijajah' kekuasaan dinasti.
Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Johan mengatakan, selama 10 tahun evaluasi terhadap pemerintahan daerah, masalah politik dinasti semakin berkembang di daerah. Hal itu dilihat dari data Kemendagri 2013, ada 61 kepala daerah terapkan politik dinasti atau 11% dari jumlah keseluruhan kepala daerah.
"Pertama, saya ucapkan selamat berkembang biak dinasti di daerah-daerah dan perbaikan pemerintah di daerah tersandung di MK. Padahal, ini (politik dinasti) jadi kerisauan pemerintah, apakah didiamkan atau buat aturan," kata Djohermansyah dalam diskusi 'MK Melegalkan Politik Dinasti' di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (9/7/2015).
"Aturan dalam UU Pilkada yang sudah dibatalkan MK sifatnya bukan melarang, tapi membatasi," sambung dia.
Ketua Panitia Kerja (Panja) Perancang UU Pilkada ini menilai, politik dinasti ini sudah banyak terjadi penyimpangan, penguasaan hukum besi. Artinya, masa jabatan Presiden dibatasi hanya boleh 2 periode, sedangkan petahana dibatasi 1 periode masa jabatan. Karena pengaruh petahana sangat kuat kepada birokrat, rakyat, dan kekuasaan anggaran.
Karena itu, Djohermansyah mengatakan, Kemendagri dan DPR periode yang lalu dan saat ini sepakat tidak mengubah pasal pembatasan keluarga atau kerabat petahana, yang diatur dalam UU Pilkada itu.
"Latar belakang nepotisme bahwa 'AMPI' (Anak, Menantu, Ponakan, Istri) merambat ke KDH (kepala daerah) dan legislatif kita. Makanya kita buat rambu-rambu yang membatasi bukan melarang," tegas Djohermansyah.
Guru Besar Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) ini pun mempertanyakan putusan MK soal petahana, yang menyebutkan pembatasan keluarga/kerabat petahana melanggar hak asasi manusia (HAM). Menurut dia, ada kepentingan HAM yang lebih besar daripada HAM yang diputuskan MK, yang lebih kepada HAM elite untuk maju pilkada.
"Bandingkan dengan HAM masyarakat yang tidak dapat maju, ribuan sampai jutaan hak rakyat diabaikan karena dihambat oleh kekuasaan. Kita kecewa," ucap dia.
Maka itu, Djohermansyah menyarankan, MK butuh hakim-hakim yang memiliki terobosan hukum seperti Hakim Agung (MA) Artidjo Alkostar. "Saya prihatin, MK butuh hakim yang punya terobosan seperti hakim Artidjo di MA, di mana asasi yang perlu dilihat dari ke-Indonesiaan bukan dari Barat."
"Indonesia ini masih gotong-royong. Ke depan harus ada pemikiran itu," tegas dia.
Meski demikian, Djohermansyah mengimbau, semua pihak harus menghormati putusan MK tersebut. Karena putusan MK final dan mengikat yang harus disikapi dengan pengawasan.
"Uji publik perlu dilakukan melalui media massa tolong dibuka, termasuk skandal-skandalnya. Publik punya ruang untuk mengetahui calonnya, karena data Kemendagri ada istri KDH incumbent yang kalah Dada Rosada di Bandung, istri kalah," kata dia.
Djohermansyah berpendapat, pendidikan politik melalui partai politik bisa saja mencegah dan mengawasi keluarga/kerabat petahana. "Tapi itu panjang prosesnya. Maka dari itu, perbaikannya kepada persoalan anti-nepotisme. Cuma kita lihat 10 tahun mulai tumbuh," pungkas Djohermansyah.
Menghambat Pembangunan
Setali tiga uang, Wakil Ketua Komisi II DPR Riza Patria juga menilai, dilegalkannya politik dinasti menghambat perbaikan pemerintah daerah. Karena akan muncul istirah raja-raja kecil seperti kerajaan, lantaran petahana ini mempunyai kekuasaan penggunaan anggaran.
"Petahana ini punya otoritas mengangkat, memberhentikan, memutasi, dan membuat program yang seharusnya buat masyarakat, tapi untuk kroni-kroninya dan keluarganya," kritik Riza.
Menurut Riza, keluarga/kerabat petahana yang maju pilkada, mempunyai modal triliunan rupiah dari petahana yang menyisipkan kampanye dalam program.
"Pemerintah harus membuat sistem, makanya tidak bisa keadilan itu sama rata. Keberpihakan itu harus tertuang dalam sistem, sistem itu diatur dalam UU. Putusan MK tidak ada keberpihakan," ujar dia.
Politisi Partai Gerindra ini mengungkapkan, para petahana begitu gencar melanggengkan keluarga/kerabatnya maju pilkada. Karena ada kepentingan menutup dan menjaga kebijakan yang salah di pemerintahan sebelumnya agar tidak terungkap.
"Sulit mengungkap kasus di daerah karena saling menyandera antara Kadin, pengusaha, dan lainnya. Kalau bupatinya bukan dari keluarga baik, tidak baik, bisa saja bagian yang lebih awal mengungkap. Tidak bermaksud menjelek-jelekkan," ujar Riza.
Riza pun meminta partai politik tidak mengakomodir keluarga/kerabat petahana maju pilkada. "Media dan LSM turut melakukan sosialisasi untuk cerdas memilih. Jangan hanya karena Rp 100 ribu, Rp 200 ribu, bahkan sampai Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta, kepentingan rakyat terabaikan karena kekuasaan politik dinasti," tegas Riza.
Sementara, pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menegaskan, sebenarnya tidak perlu takut dengan politik dinasti. Karena dalam UU Pilkada maupun peraturan lainnya sudah mengatur sistem pencegahan keluarga petahana tidak mudah lolos jadi kepala daerah.
"Jujur saya tegaskan bahwa tidak ada sebab yang cukup mendasar, untuk menangguhkan hak incumbent atau keluarganya," kata Margarito.
Margarito menambahkan, para ketua umum partai agar merekrut para calon kepala daerah dengan membuat persyaratan yang ketat. "Tidak perlu takut mencalonkan keluarga, tentu dengan kriteria kalau dia pintar, baik, punya cinta kasih. Maka tidak perlu ragu dicalonkan. Yang paling pokok tatanan dan sistem yang bekerja tanpa mengurangi hak-hak orang," tandas Margarito.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan aturan terkait incumbent atau petahana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah pada Rabu 8 Juli 2015.
MK menilai aturan yang membatasi calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana, telah melanggar konstitusi dengan alasan diskriminasi. Di sisi lain, MK dinilai melegalkan praktik politik dinasti, bagi kerabat petahana yang mencalonkan. (Rmn/Ado)
Advertisement