Top 5 Bisnis: Gaji Rp 3 Juta Kini Bebas Pajak

Gaji Rp 3 juta per bulan resmi bebas pajak mulai tahun pajak 2015 atau per 1 Januari 2015.

oleh Nurseffi Dwi Wahyuni diperbarui 10 Jul 2015, 09:27 WIB
Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta- Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akhirnya menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp 24,3 juta menjadi Rp 36 juta. Dengan begitu, gaji Rp 3 juta per bulan resmi bebas pajak mulai tahun pajak 2015 atau per 1 Januari 2015.

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro dalam keterangan resminya mengatakan, ketentuan mengenai PTKP untuk Wajib Pajak Orang pribadi menjadi Rp 36 juta setahun diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Aturan ini telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) yang memungkinkan pemerintah untuk melakukan penyesuaian PTKP melalui PMK setelah konsultasi dengan DPR.

"Sejak berlakunya PMK Nomor 122/PMK.010/2015, maka secara efektif besaran PTKP baru mulai berlaku sebagai dasar perhitungan kewajiban pajak PPh OP untuk tahun Pajak 2015 atau per 1 Januari 2015," ucap dia.

Informasi mengenai kenaikan batas penghasilan tidak kena pajak menjadi artikel yang paling diburu masyarakat. Berita lainnya yang juga menyita perhatian yaitu perkembangan krisis Yunani hingga penjelasan Presiden Joko Widodo soal perkembangan terkini ekonomi Indonesia.

Lengkapnya, berikut lima artikel paling populer di kanal bisnis Liputan6.com edisi Kamis, 9 Juli 2015:

1. Gaji Rp 3 Juta per Bulan Resmi Bebas Pajak

Dengan kenaikan PTKP ini, kata Bambang akan berdampak terhadap sisi penerimaan pajak dan perekonomian secara luas. Dari sisi penerimaan pajak, naiknya PTKP berarti akan menurunkan Penghasilan Kena Pajak (PKP).

Meskipun kenaikan PTKP mempunyai potensi memperlambat pertumbuhan penerimaan pajak, akan tetapi dari sisi ekonomi makro diharapkan kenaikan PTKP ini akan berdampak positif.

Naiknya PTKP berdampak pada naiknya pendapatan siap belanja (disposable income) sehingga pada gilirannya akan mendorong permintaan agregat baik melalui konsumsi rumah tangga maupun investasi.

2. Jejak Transaksi Keuangan PM Malaysia yang Kontroversial

Laporan Wall Street Journal pekan lalu berusaha mempublikasikan hasil penyelidikan para investigator Malaysia mengenai aliran dana kontroversial senilai US$ 700 juta ke rekening yang diduga milik Perdana Menteri Malaysia Nazib Razak. Dokumen investigasi yang diperoleh Wall Street Journal menunjukkan keterkaitan Nazib secara langsung dengan lembaga investasi negara 1Malaysia Development Bhd., atau 1MDB.

Najib saat ini diketahui sebagai pendiri 1MDB sekaligus kepala dewan penasehat di lembaga finansial tersebut. Selama ini, Najib tercatat berada di bawah tekanan politik atas lembaga tersebut.

Sejauh ini, sumber uang tersebut masih belum jelas dan hasil investigasi pemerintah Malaysia tidak memberikan rincian mengenai kelanjutan uang  yang mengalir ke rekening pribadi Najib.
 
3. Jokowi: Ekonomi Tertekan, Saya Tak Bisa Simsalabim Atasi Ini

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) memastikan akan bersifat realistis dalam menghadapi gejolak ekonomi global yang turut berdampak pada ekonomi Indonesia, yang pada awal tahun ini hanya tumbuh sebesar 4,7 persen.

Jokowi menilai, apa yang dihadapi Indonesia saat ini adalah masa transisi dari mesin pertumbuhan ekonomi berbasis sektor komoditi dan konsumtif beralih ke industri yang memiliki nilai tambah dan bersifat produktif.

"Memang kita tidak bisa ambil jalan pintas, tidak ada peluru ajaib. Saya tidak bisa simsalabim masalah bisa teratasi, tidak bisa, dan masyarakat harus sadar itu," kata dia pada Sarasehan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) bersama Jokowi dengan tajuk 'Presiden Menjawab Tantangan Ekonomi'.

4. Kondisi Utang RI Berbeda dengan Yunani

Kondisi ekonomi Indonesia dan Yunani memang jauh berbeda. Hal ini tercermin dari rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kedua negara karena level defisit anggaran yang harus ditutupi dengan utang.

Direktur Jenderal Pengelolaan, Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Robert Pakpahan mengungkapkan posisi utang pemerintah pusat hingga Mei 2015 menembus Rp 2.843 triliun. Terdiri dari Rp 2.151 triliun dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman senilai Rp 691 triliun.

"Kalau dibagi jumlah PDB Indonesia yang mencapai Rp 11 ribu triliun, berarti sekira 25 persen rasio utangnya terhadap PDB atau pendapatan negara. Rasio itu masih aman dan teratur," ujar dia.

Sementara rasio utang pemerintah Yunani, dia menjelaskan menembus 170 persen terhadap PDB karena Negeri Para Dewa ini mencatatkan defisit anggaran yang sangat tinggi. "Kalau utang melampaui PDB-nya ya berat," ujar Robert.

5. Pertamina dan SKK Migas Digabung, Aset Jadi Setara Chevron

Wacana penggabungan PT Pertamina (Persero) dengan Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) terus bergulir. Lantas  apa  efeknya jika keduanya digabungkan?

Menurut Direktur Hulu Pertamina, Syamsu Alam menuturkan penggabungan Pertamina dengan SKK Migas bisa meningkatkan aset perseroan hingga setara dengan perusahaan energi asal Amerika Serikat (AS), Chevron Corporation. (Ndw/Gdn)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya