Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akan merevisi PP No 46 tahun 2015 terkait program Jaminan Hari Tua (JHT). Revisi tersebut untuk mencarikan solusi supaya peserta BPJS Ketenagakerjaan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa mencairkan JHT secara penuh. Lantaran, sejak regulasi tersebut diterbitkan menuai protes dari masyarakat.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn Masyassya menerangkan PP No 46 Tahun 2015 sendiri merupakan turunan dari Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam UU tersebut belum mengatur persoalan bagi tenaga kerja yang kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Advertisement
"Awalnya sesuai UU Nomor 40 bahwasanya bisa dicairkan karena empat sebab. Berusia 56, meninggal dunia, cacat total atau meninggalkan Indonesia selamanya. Karena ada aspirasi bagaimana dengan yang PHK? Presiden memberikan arahan. Arahan itu yang ditindaklanjuti menteri terkait. Ini yang proses revisi PP," kata dia Bandung, Jumat (10/7/2015).
Dengan lahirnya PP tersebut berarti terdapat regulasi yang mengatur peserta BPJS Ketenagakerjaan yang terkena PHK. Meski tak diatur dalam UU pihaknya mengatakan PP tersebut tak bermasalah di hadapan hukum.
"Tidak melanggar, yang melanggar yang bertabrakan UU. Ini karena tidak diatur, PP boleh. Tidak diatur bukan berarti melanggar," ujar Elvyn.
Di sisi lain, dalam PP No 46 Tahun 2015 berisi ketentuan JHT bisa diambil ketika mencapai 56 tahun. Tenaga kerja yang menjadi PNS, TNI, Polri tidak bisa mengajukan klaim. Selain itu, minimal kepesertaan 10 tahun dan dapat mengambil sebanyak 10 persen untuk persiapan hari tua. Pengambilan JHT 30 persen untuk membantu pembiayaan perumahan. (Amd/Ahm)