Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus Pasal 7 huruf r UU Pilkada tentang larangan keluarga incumbent atau petahana mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Aturan ini dinilai inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945 tentang hak asasi manusia (HAM) dan hak konstitusional warga.
Namun demikian, mantan Anggota Pansus RUU Pilkada Fraksi Hanura, Miryam S Haryani memiliki catatan tersendiri. Menurutnya, saat ini MK telah kehilangan semangat progresifnya dalam membuat kebijakan.
Advertisement
"Putusan MK yang menggugurkan aturan mengenai pembatasan politik dinasti menjadi catatan tersendiri khususnya dalam hal membangun demokrasi yang sehat dan berkemajuan," kata Miryam kepada Liputan6.com di Jakarta, Sabtu (11/5/2015).
Miryam menilai, kali ini MK terlalu takut mengambil keputusan di luar frame hukum yang sudah menjadi kebiasaan, padahal pimpinan MK sebelumnya sudah sering mencontohkan hal tersebut namun tidak dijadikan pertimbangan dan pelajaran.
Penyusunan Pasal
"Kami di DPR dan di Pansus Pilkada waktu itu menyusun pasal ini dengan pertimbangan yang sangat mendalam dan menyeluruh, bahkan kami harus siap diteror oleh pihak-pihak tertentu yang menginginkan pasal ini dihapuskan," tutur dia.
"Pasal ini akhirnya menjadi sebuah keputusan yang kita ambil di pansus dulu karena kami ingin membangun demokrasi yang jauh lebih substansial serta menjadikan kontestasi dalam Pilkada lebih terbuka," sambung Miryam.
Anggota Komisi V DPR ini mengatakan, selama ini, Pilkada cenderung hanya menjadi ruang segelintir orang yang punya akses kuat dalam dunia politik, termasuk petahana dalam rangka melanggengkan kekuasaan yang dimilikinya.
"Padahal jika kami mau egois maka partai politik tidak akan mau mengambil resiko ini, namun demi kepentingan bangsa yang lebih besar akhirnya kami bersepakat untuk membatasi adanya dinasti," ujar dia.
Miryam menambahkan, sama halnya dengan PNS harus mundur agar menjaga netralitas birokrasi dalam Pilkada jika ingin mencalonkan diri. Karena, kata dia, selama ini yang dikeluhkan banyak kalangan adalah ketidakmampuan birokrasi bersikap netral dalam setiap pelaksanaan Pilkada.
"Mimpi kami untuk membangun demokrasi yang lebih substansial dan berkualitas ini akhirnya harus dikubur dengan adanya putusan MK ini. Sudah tentu pihak yang sangat dirugikan dalam masalah ini adalah rakyat Indonesia, sebab mereka akan kembali kehilangan kesempatan dalam memunculkan alternatif pemimpin pilihan yang ideal dan sesuai harapan mereka dalam pilkada akibat adanya dinasti ini," tandas Miryam S Haryani. (Mvi/Ein)