Eks Napi Koruptor Ini Diusulkan Jadi Calon Walikota

Sejumlah parpol besar lebih memilih calonkan mantan walikota yang pernah dihukum karena korupsi sebagai kandidat untuk bertarung di pilkada.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 14 Jul 2015, 08:02 WIB
Soemarmo HS sedang menjalani rekonstruksi perencanaan suap yang digelar oleh KPK di Hotel Novotel, Semarang pada tahun 2012 lalu. (Dok/Istimewa)

Liputan6.com, Semarang - Sisa waktu 5 bulan menjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 9 Desember 2015 mendatang, ternyata gagal dimanfaatkan sejumlah partai politik di Semarang untuk mendapatkan kader atau kandidat yang bersih.

Akibatnya sejumlah parpol besar lebih memilih mencalonkan mantan walikota yang pernah dihukum karena korupsi sebagai calon.

DPD II Partai Golkar Kota Semarang setelah melalui proses cukup panjang akhirnya mengusulkan dua calon wali kota ke DPP Partai Golkar. Dua calon tersebut, yaitu Soemarmo HS dan Mahfudz Ali. Pencalonan itu sesuai kesepakatan Rapat Pimpinan Daerah Khusus (Rapimdasus) DPD II Partai Golkar Kota Semarang.

"Dalam persiapan Pilwakot (Pemilihan Walikota) Semarang 2015, mengusulkan dua nama ke DPD dan DPP yaitu Soemarmo HS dan Mahfudz Ali menjadi calon Walikota Semarang yang diusung Golkar di Pilwakot Semarang," ucap Ketua DPD II Partai Golkar Kota Semarang, Agung Priyambodo kepada Liputan6.com, belum lama ini.

Sebelumnya Partai Golkar Kota Semarang juga menggelar uji kompetensi terhadap empat kandidat yang mendaftar untuk diusung pada pemilihan kepala daerah (pilkada) setempat. Empat kandidat hadir dalam uji kompetensi yang digelar Golkar di Hotel Pandanaran Semarang, yakni Soemarmo Hadi Saputro, Mahfudz Ali, Djoko Setijowarno, dan Rudy Sulaksono.

Sesuai Mekanisme

Menurut Agung, sesuai mekanisme dan aturan di Golkar proses penjaringan dan penyaringan, serta pengusulan menjadi kewenangan DPD II Golkar Kota Semarang, namun keputusan akhir tetap di DPP Partai Golkar.

"Dari hasil berbagai tahapan seleksi, akhirnya kami mengajukan dua nama tersebut ke DPP Partai Golkar untuk diberi restu," katanya.

Menanggapi bahwa Soemarmo pernah dihukum akibat korupsi, Agung berkata bahwa itu merupakan wewenang DPP untuk menolak. "Kami hanya mengusulkan, wewenang DPP yang memutuskan."

Napi Kasus Korupsi

Nama Soemarmo yang dinyatakan terbukti korupsi sehingga harus mendekam di LP Cipinang setelah ditangkap KPK pada akhir 2012 lalu juga diusung oleh Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional.

Dua partai ini bahkan sudah membangun koalisi yang diberi nama Garuda Matahari. Dua partai itu pula yang kemudian aktif menjajaki pembentukan koalisi besar dengan menggandeng Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera agar bersedia mengajukan nama Soemarmo.

Lobi itu menunjukkan hasil sehingga Partai Demokrat (PD) Kota Semarang juga mengusulkan nama Soemarmo sebagai salah satu calon walikota.

Elektabilitas Tinggi

Sekretaris Partai Demokrat Kota Semarang, Wahyu Winarto, menjelaskan, dari proses penjaringan dan penyaringan yang dilakukan bersama Koalisi Tugumuda, dua nama itu memiliki tingkat elektabilitas paling baik berdasarkan survei terakhir.

"Selain melakukan survei internal, kami juga melakukan rapat koordinasi dengan jajaran struktural dan kader," kata Liluk, panggilan akrab Wahyu Winarto.

Sama dengan Golkar, Partai Demokrat juga beralibi bahwa pihaknya hanya mengusulkan, sementara keputusan ada di tangan DPP.

"Bisa saja usulan kami ditolak karena Demokrat memiliki tradisi baik, kader yang terbukti korupsi harus mundur. Jadi kami hanya mengusulkan, namun tak menjanjikan akan mengusungnya, semua tergantung rekomendasi DPP," kata Wahyu Winarto.

Selanjutnya: Dianggap Khianati Publik...


Dianggap Khianati Publik

Dianggap Khianati Publik

Koordinator Advokasi sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Apung Widadi mengatakan bahwa niat parpol-parpol besar itu mencalonkan koruptor sebagai kepala daerah merupakan kesengajaan pengkhianatan terhadap publik.

"Mari kita lihat dalam pemilu legislatif lalu. Semua partai mengkampanyekan gerakan antikorupsi. Namun hanya setahun, mereka sudah mengkhianati. Jika yang menjadi pertimbangan adalah logistik kampanye, itu sungguh naif karena saat itu Soemarmo memang tidak dimiskinkan oleh KPK dengan penyitaan asset," kata Apung Widadi.

Apung Widadi menyatakan bahwa pihaknya siap membentuk aliansi strategis dengan sejumlah aktivis antikorupsi untuk mengajukan judicial review atas UU Pilkada.

"Dihukum satu menit dan dihukum lima tahun, hakekatnya adalah pengakuan bahwa yang dihukum adalah koruptor. Jadi sebaiknya semua koruptor dihilangkan haknya untuk dipilih, karena jelas merekalah perusak bangsa dan negara," kata Apung.

Dukungan sejumlah partai besar itu membuka peluang terjadi pilkada satu putaran, karena PDIP sebelumnya sudah menerbitkan rekomendasi mencalonkan Hendrar Prihadi-Nevearita sebagai calon walikota dan calon wakil walikota.

Menyoroti hal ini, Apung Widadi menyebutkan jika memang hanya terjadi dua calon, dipastikan Semarang tidak akan berubah.

"Jika yang terpilih incumbent, Semarang tetap seperti sekarang. Jika yang terpilih Soemarmo, Semarang dalam bahaya," kata Apung.

Kasus Soemarmo

Soemarmo HS adalah Walikota Semarang periode 2010-2015. Namun pada tahun 2012, ia ditangkap KPK karena menyuap DPRD untuk mengegolkan Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) PNS. Ia dituntut hukuman 5 tahun penjara, namun hanya menjalani 2,5 tahun dari vonis 3 tahun.

Dalam materi sidang pada kasus 2012 ini, Soemarmo terekam sedang bernegosiasi dengan Kabiro Keuangan mengenai besaran suap yang hendak diberikan kepada Sekda juga.

Saat ini namanya juga disebut-sebut dalam penyidikan kasus korupsi program Semarang Pesona Asia (SPA) yang ditangani Kejaksaan Negeri Semarang. Dalam kasus terakhir, ia sudah menjalani pemeriksaan dua kali. (Ans/Tnt)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya