Liputan6.com, Dakar - Hissene Hebre, mantan pemimpin Chad yang terkenal sebagai 'Pinochet-nya Afrika' menghadapi pengadilan di Senegal atas keterlibatannya membunuhi ribuan orang selama ia berkuasa.
Pengadilan dimulai Senin (20/07/2015) adalah pengadilan bersejarah dalam politik Afrika. Ia menjadi pemimpin Afrika pertama di benua Afrika untuk pasal kejahatan terhadap kemanusiaan.
Habre, memimpin Chad dari 1982 hingga 90. Disidang oleh Pengadilan Kejahatan Luar Biasa Afrika di Senegal.
Ini adalah kali pertama bagi Afrika memakai pasal universal di mana pengadilan nasional suatu negara dapat mengadili kejahatan paling serius yang dilakukan di luar negeri oleh orang asing dan terhadap korban asing, kata Human Right Watch.
Pengadilan ini juga pertama kali sebuah pengadilan di suatu negara dapat mengadili pemimpin negara lain yang terlibat kasus kejahatan kemanusiaan.
"Ini membuktikan bahwa kita bisa mendapatkan keadilan di mana pun di Afrika," kata HRW Reed Broody yang telah bekerja untuk kasus Habre semenjak 1999 kepada Aljazeera.
Berbaju putih dan memakai turban, pemimpin berusia 72 tahun memasuki ruang sidang dengan tangan terkepal sambil berteriak, "Tuhan Maha Besar,"
"Akhirnya, akhirnya, orang yang begitu brutal mendapat ganjarannya," kata Clement Abaifouta, pemimpin perkumpulan korban kejahatan Habre kepada Guardian.
Organisasi ini tanpa lelah mencari keadilan semenjak 25 tahun lalu. Mereka berkali-kali gagal membawa Hebre ke pengadilan di Belgia maupun di Senegal, hingga hari ini.
22 Tahun dalam Pengasingan
Mantan pemimpin Chad ini hidup di pengasingan di Senegal selama 22 tahun sampai penahanannya di bulan Juli tahun lalu. Pemerintahan Hebre bertanggung jawab atas 40.000 kematian, menurut sebuah laporan yang diterbitkan pada Mei 1992 oleh 10 anggota komisi kebenaran Chad yang dibentuk oleh presiden Idris Deby.
Komisi kebenaran ini menyalahkan Hebre atas pemerintahannya yang sewenang-wenang. Ia mempunyai polisi rahasia DDS (Direction de la Documentation et de la Sécurité) yang bertanggung jawab karena menggunakan metode penyiksaan, termasuk penghilangan, pemukulan, pembakaran hingga cabut kuku kepada para tahanan.
HRW mencatat 1.200 terbunuh dan 12 ribu disiksa saat Hebre memimpin Chad. Habre dipercaya selalu berada di tempat saat penyiksaan terjadi oleh dinas polisi rahasia itu.
"Hebre memerintah layaknya Tuhan. Semua dianggap ancaman," kata Souleymane Guengueng yang menghabiskan waktu 3 tahun di tahanan. "Jika ada yang tidak setuju dengannya, ia akan mengamuk dan menyerang seperti singa," kata Souleymane Guengueng yang menghimpun para saksi untuk persidangan bersejarah ini.
Investigator dari Belgia dalam perjalanannya mengunjungi rumah tahanan dan kuburan massal tahun 2002 menemukan ribuan bukti bahwa Hebre telah menggunakan penyiksaan dan kekerasan terhadap tahanan.
Tahun 2010 sekitar 10 juta dolar dana digelontorkan oleh Uni Eropa, Belgia, Jerman, Prancis, Luxemburg, Uni Afrika, dan Chad untuk menggelar sidang. Dua tahun kemudian, Pengadilan Internasional memerintahkan Senegal untuk ekstradisi Hebre.
Pengacara Hebre menolak pengadilan ini karena dianggapnya adalah alat politik dari musuh saingan Hebre. Pengacaranya juga menuduh pemerintahan Presiden Deby, yang menggantikan Hebre, adalah orang yang paling banyak menyumbangkan dana demi diselenggarakannya sidang ini.
Sidang dipimpin oleh hakim dari Senegal dan juri dari berbagai negara Afrika lainnya.
Ribuan saksi dipastikan akan hadir untuk bersaksi. Apabila terbukti bersalah, ia akan dijatuhi hukuman seumur hidup dan sejumlah denda. Sidang ini dipastikan akan memakan waktu hingga sekian bulan ke depan. (Rie/Yus)
Energi & Tambang