Liputan6.com, Jakarta - Di tengah ekonomi melambat, pengusaha tekstil dihantam beban berat mulai dari penurunan penjualan ekspor dan dalam negeri sampai kebijakan pemerintah yang semakin mengancam keberlangsungan bisnis.
Namun pengusaha berjuang mengupayakan penyelamatan perusahaan agar tetap membuka lapangan kerja bagi masyarakat. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat mengakui sangat berat menjual produksi tekstil saat ini karena daya beli masyarakat melemah. Mereka mulai menahan hasrat membeli barang-barang sekunder.
Advertisement
"Sudah tidak ada daya beli masyarakat, karena pengeluaran primer mereka kini sembako, kebutuhan anak sekolah. Jadi tidak beli baju, barang elektronik, dan mobil pun tidak," ucap dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Minggu (26/7/2015).
Ia menuturkan, para pengusaha tekstil tentu tidak berpangku tangan hanya menunggu nasib perbaikan ekonomi global dan domestik. Pengusaha melakukan upaya penyelamatan dengan berbagai cara. Pertama, lanjut Ade, mencari pangsa pasar ekspor non tradisional seperti Timur Tengah, Afrika, Eropa Timur dan lainnya.
"Kalau ke China tidak mungkin, karena kalah tempur. Sedangkan merambah ke pasar Amerika Serikat (AS) dan Eropa, kita tidak punya akses khusus yakni perdagangan bebas sehingga bea masuk impor ke sana 11-30 persen. Mustahil bisa bersaing dengan produk di sana. Padahal kalau ada akses ini, bea masuk impor bisa nol persen," jelas dia.
Strategi kedua, Ade bilang, penghematan energi terutama listrik. Ade menilai, struktur biaya paling besar adalah listrik yang mencapai 20 persen mengingat harga jual listrik di Indonesia yang termahal 10-11 sen per Kwh.
"Belum lagi porsi lebih besar yang dibebankan ke perusahaan untuk BPJS Kesehatan, aturan OJK terkait kenaikan asuransi, penggunaan rupiah di dalam negeri oleh Bank Indonesia (BI), dan lainnya," kata
Upaya ketiga, sambung dia, pengurangan jam kerja karyawan dari tujuh hari menjadi empat atau lima hari per minggu. Dengan demikian, kata Ade produksi tekstil ikut merosot hingga 30 persen dan memberi kesempatan supaya barang-barang yang tersimpan di gudang keluar dan dijual.
"Jadi sesuai dengan kelihaian perusahaan. Yang penting, tidak ada PHK, dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya mau itu outsourcing, kontrak atau tetap. Serta menghasilkan devisa, karena tanpa devisa bisa bangkrut negara ini," tandas Ade. (Fik/Ahm)